Skeptisisme adalah paham yang memandang
sesuatu selalu tidak pasti meragukan, mencurigakan contohnya; kesulitan
itu telah banyak menimbulkan skeptisisme terhadap kesanggupan dalam menanggapi
gejolak hubungan internasional. Menurut kamus besar bahasa indonesia skeptis
yaitu kurang percaya, ragu-ragu terhadap keberhasilan ajaran daan sebagainya: contohnya;
penderitaan dan pengalaman menjadikan orang bersifat sinis dan skeptis. Jadi
secara umum skeptisisme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang tentang
sesuatu yang belum tentu kebenarannya.
1.
Dalam penggunaan sehari-hari
skeptisisme bisa berarti:
a. Suatu
sikap keraguan atau disposisi untuk keraguan baik secara umum atau menuju objek
tertentu.
b. Doktrin
yang benar ilmu pengetahuan atau terdapat di wilayah tertentu belum pasti.
c. Metode
ditangguhkan pertimbangan, keraguan sistematis, atau kritik yang karakteristik
skeptis (Merriam-Webster).
2. Dalam
filsafat, skeptisisme adalah merujuk lebih bermakna khusus untuk suatu atau
dari beberapa sudut pandang. Termasuk sudut pandang tentang:
a. Sebuah pertanyaan.
b. Metode mendapatkan
pengetahuan melalui keraguan sistematis dan terus menerus pengujian.
c. Kesembarangan,
relativitas, atau subyektivitas dari nilai-nilai moral.
d. Keterbatasan pengetahuan.
e. Metode intelektual
kehati-hatian dan pertimbangan yang ditangguhkan.
3. Skeptisme
menurut ilmu pengetahuan
Skeptisime sebagai sebuah pemahaman bisa
dirunut dari yunani kuno. Pemahaman yang kira-kira secara gampangnya “tidak ada
yang bisa kita ketahui”, “Tidak ada yang pasti” “Saya ragu-ragu.” sebuah
pernyataan yang akan diprotes karena memiliki paradoks. Jika memang tidak ada
yang bisa diketahui, darimana kamu mengetahuinya. Jika memang tidak ada yang
pasti, perkataan itu sendiri sesuatu kepastian. Setidaknya dia yakin kalau dirinya
ragu-ragu.
Skeptis juga bisa dianggap sebagai
sifat. Kadang kita juga melakukannya tanpa kita sadari. Ketika kita mendengar
bahwa ada cerita kita diculik pocong tentu saja kita mengerutkan kening.
Kemudian kita tidak mempercayai dengan mudah, kita anggap isapan jempol, urban
legend, palsu. Orang skeptis bisa memberikan argumen-argumen keberatan terhadap
cerita tersebut. Mereka meminta bukti, menyodorkan fakta kenapa cerita itu tak
mungkin dan lain sebagainya. Dengan
kata lain meragukan. Sifat skeptis artinya sifat meragukan sesuatu. Tidak mau
menerima dengan mudah apa adanya. Selalu meragukan sesuatu jika belum ada bukti
yang benar-benar jelas. Jika ada cerita maka tidak langsung mempercayainya.
Sifat semacam ini penting bagi ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan memerlukan suatu kepastian yang seakurat mungkin
karena itu ilmuwan diharapkan skeptis. Ilmuwan tidak boleh langsung percaya
begitu saja terhadap berita, percobaan dan lain sebagainya. Ini karena metode
dalam ilmu pengetahuan yang ketat. Jika seseorang menyatakan sebuah teori
misalnya “Naga itu ada!” Ilmuan kemudian bertanya. Mana buktinya? Ilmu selalu
mempertanyakan bukti. Ini karena ilmu tidak boleh mudah percaya. Ini karena di
dunia banyak penipu dan pembohong, ada mereka yang menyatakan melihat sesuatu
padahal tidak ada di sana. Ada juga mereka yang merasa melihat sesuatu padahal
sebenarnya tidak. Jika komunitas ilmuwan hendak mempercayai hal semacam ini
tanpa bukti dan meminta yang lain supaya percaya, maka ilmu pengetahuan akan
dipenuhi hal-hal yang tidak bisa dipercaya kebenarannya.
4. Skeptisisme
menurut filsafat
Sikap skeptis adalah sebuah pendirian di
dalam epistemologi filsafat pengetahuan yang menyangsikan
kenyataan yang diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya. Para skeptikus
sudah ada sejak zaman yunani kuno, tetapi di dalam filsafat modern, René
Descartes adalah perintis sikap ini dalam metode ilmiah. Kesangsian Descartes dalam metode
kesangsiannya adalah sebuah sikap skeptis, tetapi skeptisisme macam itu
bersifat metodis, karena tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan kepastian
yang tak tergoyangkan, yaitu: cogito atau
subjectum sebagai onstansi akhir pengetahuan manusia. Di dalam filsafat
D.Hume kita menjumpai skeptisme radikal, karena ia tidak hanya menyangsikan
hubungan-hubungan kausal, melainkan juga adanya substansi atau realitas akhir
yang bersifat tetap.
Dalam filsafat klasik, mempertanyakan
merujuk kepada ajaran mengenai "Skeptikoi".
Dalam ilmu filsafat dari yang dikatakan bahwa mereka "tidak menyatakan
apa-apa selain pandangan sendiri saja. ”Liddell and Scott”.
Dalam hal ini, keraguan filsafati, atau Pyrrhonisme adalah posisi filsafat yang
harus menangguhkan satu keputusan dalam penyelidikan. Sextus Empiricus, Outlines Of Pyrrhonism, Terjemahan R.G. Bury,
Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1933, 21
5. Skeptisisme
menurut agama
Dalam agama, mempertanyakan merujuk
kepada "keraguan tentang prinsip-prinsip dasar agama seperti keabadian,
pemeliharaan, dan wahyu. "MerriamWebster”.
Pandangan yang mirip tetapi tak sama dengan Ian G. Barbour, yaitu John F.
Haught (1995), yang membagi
pendekatan sains dan agama, menjadi pendekatan konflik, pendekatan kontras,
pendekatan kontak, dan pendekatan konfirmasi.Untuk itu, secara singkat membahas
empat pemikiran Haught tentang hubungan sanis dan agama, sebagai berikut :
Pendekatan Konflik, suatu keyakinan bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak
dapat dirujukan atau dipadukan. Artinya banyak pemikir saintis yang memandang bahwa
agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Masing-masing berada
pada posisi yang berbeda, sains menguji semua hipotesis dan semua teorinya
berdasarkan pengalaman, sedangkan agama berdasarkan keyakinan.
Kaum skeptis ilmiah sering mengatakan
agama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori atau “keyakinan”, sedangkan sains
tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar. Menurut kaum
saintis, memandang agama terlalu bersandar pada imajinasi yang liar, Sedangkan sains
bertumpuk pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional, penuh gairah
dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu
bergairah, dan objektif. Jadi, pertautan antara keduanya tidak dengan mudah
dapat dilakukan. Keduanya memiliki perbedaan mendasar sehingga upaya
menyandingkan keduanya dalam satu ”kotak” tentu akan memicu beberapa persoalan,
terutama terkait dengan benturan-benturan konseptual, metodologis dan ontologis
antara ”sains” dan ”agama”. Secara tegas dapat dikatakan, bahwa dalam sejarah,
sikap ”ekspansionis” agama maupun ”sains” menolak pengaplingan wilayah
masing-masing. Keduanya sulit dipaksa berdiam dalam kotak-kotak tertentu,
tetapi ingin memperluas wilyah signifikansinya ke kotak-kotak lain. Maka,
ketika satu ”kotak” didiami oleh dua entitas ini, terbukalah peluang terjadinya
konflik antara keduanya.
Pendekatan kontras, suatu pernyataan
bahwa tidak ada pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan sains
memberi tanggapan terhadap masalah yang sangat berbeda. Banyak ilmuwan dan
agamawan (teolog) tidak menemukan adanya
pertentangan antara agama dan sains. Menurut kubu kontras, ”agama” dan ”sains” sangatlah berbeda sehingga
secara logis tidak mungkin ada konflik di antara keduanya. Agama dan sains
sama-sama absah (valid) meskipun hanya dalam
batas ruang penyelidikan mereka sendiri yang sudah jelas. Kita tidak boleh
menilai agama dengan tolok ukur sains, begitu juga sebaliknya, oleh karena itu
keduanya harus dipisahkan antara satu dan lainnya. Jika agama dan sains
sama-sama mencoba untuk mengerjakan pekerjaan yang sama, tentu saja mereka akan
bertentangan. Sains dan agama benar-benar mempunyai tugas-tugas yang tidak sama
dan tetap menjaga agar sains dan agama berada dalam wilayah yurisdiksinya
masing-masing. Jadi, agama dan sains tidak perlu mencampuri urusan satu sama
lain.
Pendekatan Kontak, suatu pendekatan yang
mengupayakan dialog,interaksi, dan kemungkinan adanya ”penyesuaian” antara
sains dan agama,dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut
mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Cara untuk menghubungkan agama
dengan sains, sebab Haught, tidak rela membiarkan dunia ini terpilah-pilah
menjadi dua ranah (dikotomik). Tetapi ia juga tidak
setuju pada harmoni yang dangkal dalam pendekatan peleburan. Maka menurutnya,
pendekatan ini setuju bahwa sains dan agama jelas berbeda secara logis dan
linguistik, tetapi dalam dunia kenyata, mereka tidak dapat dikotak-kotakan
dengan mutlak, sebagaimana diandaikan oleh kubu pendekatan kontras. Kata
mempertanyakan dapat menggambarkan posisi pada sebuah klaim, namun di kalangan
lain lebih sering menjelaskan yang menetapkan kekekalan pikiran dan pendekatan
untuk menerima atau menolak informasi baru. Individu yang menyatakan memiliki
pandangan mempertanyakan sering disebut bersikap skeptis, akan tetapi sering
terlupakan apakah sikap secara filsafat mempertanyakan atau ketidakpercayaan
secara empiris sebenarnya malahan adalah pernyataan sebuah pengakuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar