Apabila filsafat dijadikan suatu “ajaran hidup”,
maka ini berarti bahwa orang mengharapkan dari filsafat itu dasar-dasar ilmiah
yang dibutuhkannya untuk hidup. Filsafat diharapkan memberikan
petunjuk-petunjuk tentang bagaimana kita harus hidup untuk menjadi manusia
sempurna , yang baik, yang susila, dan bahagia.
Jadi tidak hanya ilmu pengetahuan yang teoritis
saja, melainkan yang praktis juga, artinya yang mencoba menyusun aturan-aturan
yang harus dituruti agar hidup kita mendapat isi makna dan nilai, dan ini
sesuai dengan arti “filsafat” sebahai usaha mencari kebijaksanaan, yang
meliputi baik pengetahuan dan pemahaman yang mendalam (insight) maupun sikap yang “benar” yang sesuai dengan pengetahuan
itu. Sebenarnya pada hakikatnya keinginanyang terdapat dalam hati kita itu
tidak hanya dorongan untuk mengerti saja, itu hanya satu aspek saja, satu
fungsi saja, meskipun satu fungsi yang sangat penting bagi keseluruhan manusia.
Karena itu dorongan untuk mengerti dengan sedalam-dalamnya itu berarti dorongan
untuk mengerti bangaimanakah sebenarnya hakikat kenyataan itu, bagaimanakan
hakikat manusia itu. . . . untuk dapat hidup menurut kebenaran itu. Inilah yang
menyebabkan filsafat berarti mencari pandangan hidup, mencari pengangan dan
pedoman hidup.
Maka tidak mengherankan bahwa filsafat dalam
sejarahnya dipandang sebagai ajaran hidup juga. Demikian hanya misalnya pada
zaman dulu antara lain pada masa Phythagoras, Plato dan lain-lain. Dalam
kalangan jawa dorongan ini kerapkali terlihat dalam ucapan yang menganjurkan
supaya manusia mengerti “sariro sejati”
(apakah dia sebenarnya). Bahkan dikatakan bahwa manusia, jika hendak mengerti “sariro sejati” itu harus mengerti “pati seseliran”.
Demikianlah kalimatnya sebagai berikut:
“yen siro yen
wit ono/jatining sariro iku/den wruh pati seseliran”. Artinya: jika engkau hendak mengerti dirimu
sendiri yang sebenar-benarnya, engkau harus mengerti “mati yang tercinta”.
Pada hakikatnya mengerti “sariro sejati” itu dalam
konsekunsinya berarti “mengerti Tuhan”. “Sing
sopo wruh ing sariro/yo iku wruh ing Pangerane. . . .”. (barang siapa
mengerti diri sendiri, maka dia mengerti Tuhan dan RasulNya).
Dalam su luk Wijil (Jawa) hal ini
nampak demikian:
Pengetingsun
ing sirorowijil,
Den
yetno uripiro neng denyo,
Yo
sumambraneng gawe,
Kaweruhan
den estu,
Sarironto
pun dudu jati, kang jati dudu siro,
Mengko
sesat weruh siro maring Hyang Widi,
Iku
margo utomo. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Pikiran yang semacam ini merata dalam seluruh
sejarah filsafat. Jadi de facto/das sein”
(dalam kenyataannya) teranglah bahwa para filsuf dalam penerungannya pada
akhirnya sampailah pada soal tentang Tuhan dan ke-Tuhanan. Akan tetapi ini
bukan saja “de facto/des sein” melainkan juga “de jure/das sollen” (seharusnya demikian). Artinya jika manusia
berpikir benar-benar dan dengan ini mengerti akan dirinya sendiri, mengerti
apakah manusia itu pada hakikatnya (bahwa ia bukan yang terdasar, bahwa ia
tergantung, bahwa oa diadakan, bahwa ia bercita-cita tinggi, bahwa ia
merindukan kebahagiaan dan sebagainya), maka ia akan sampai kepada pengertian
tentang Tuhan.
Hal ini tidak kami bentangkan di sini dan kami
kemukakan ialah untuk menunjukkan apakah sebenarnya filsafat itu dan
bagaimanakah timbulnya filsafat itu. Pada hakikatnya: “filsafat adalah pengertian tentang manusia sekedar ia bergerak ke arah
Tuhan“.
Sumber:
Salam Burhanuddin. 2008. Pengantar
Filsafat. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar