Jumat, 30 Desember 2016

Filsafat Sebagai Ajaran Hidup



Apabila filsafat dijadikan suatu “ajaran hidup”, maka ini berarti bahwa orang mengharapkan dari filsafat itu dasar-dasar ilmiah yang dibutuhkannya untuk hidup. Filsafat diharapkan memberikan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana kita harus hidup untuk menjadi manusia sempurna , yang baik, yang susila, dan bahagia.

Jadi tidak hanya ilmu pengetahuan yang teoritis saja, melainkan yang praktis juga, artinya yang mencoba menyusun aturan-aturan yang harus dituruti agar hidup kita mendapat isi makna dan nilai, dan ini sesuai dengan arti “filsafat” sebahai usaha mencari kebijaksanaan, yang meliputi baik pengetahuan dan pemahaman yang mendalam (insight) maupun sikap yang “benar” yang sesuai dengan pengetahuan itu. Sebenarnya pada hakikatnya keinginanyang terdapat dalam hati kita itu tidak hanya dorongan untuk mengerti saja, itu hanya satu aspek saja, satu fungsi saja, meskipun satu fungsi yang sangat penting bagi keseluruhan manusia. Karena itu dorongan untuk mengerti dengan sedalam-dalamnya itu berarti dorongan untuk mengerti bangaimanakah sebenarnya hakikat kenyataan itu, bagaimanakan hakikat manusia itu. . . . untuk dapat hidup menurut kebenaran itu. Inilah yang menyebabkan filsafat berarti mencari pandangan hidup, mencari pengangan dan pedoman hidup.
Maka tidak mengherankan bahwa filsafat dalam sejarahnya dipandang sebagai ajaran hidup juga. Demikian hanya misalnya pada zaman dulu antara lain pada masa Phythagoras, Plato dan lain-lain. Dalam kalangan jawa dorongan ini kerapkali terlihat dalam ucapan yang menganjurkan supaya manusia mengerti “sariro sejati” (apakah dia sebenarnya). Bahkan dikatakan bahwa manusia, jika hendak mengerti “sariro sejati” itu harus mengerti “pati seseliran”.
Demikianlah kalimatnya sebagai berikut:
yen siro yen wit ono/jatining sariro iku/den wruh pati seseliran”.  Artinya: jika engkau hendak mengerti dirimu sendiri yang sebenar-benarnya, engkau harus mengerti “mati yang tercinta”.
Pada hakikatnya mengerti “sariro sejati” itu dalam konsekunsinya berarti “mengerti Tuhan”. “Sing sopo wruh ing sariro/yo iku wruh ing Pangerane. . . .”. (barang siapa mengerti diri sendiri, maka dia mengerti Tuhan dan RasulNya).
Dalam su luk Wijil (Jawa) hal ini nampak demikian:
Pengetingsun ing sirorowijil,
Den yetno uripiro neng denyo,
Yo sumambraneng gawe,
Kaweruhan den estu,
Sarironto pun dudu jati, kang jati dudu siro,
Mengko sesat weruh siro maring Hyang Widi,
Iku margo utomo. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Pikiran yang semacam ini merata dalam seluruh sejarah filsafat. Jadi de facto/das sein” (dalam kenyataannya) teranglah bahwa para filsuf dalam penerungannya pada akhirnya sampailah pada soal tentang Tuhan dan ke-Tuhanan. Akan tetapi ini bukan saja “de facto/des sein  melainkan juga “de jure/das sollen” (seharusnya demikian). Artinya jika manusia berpikir benar-benar dan dengan ini mengerti akan dirinya sendiri, mengerti apakah manusia itu pada hakikatnya (bahwa ia bukan yang terdasar, bahwa ia tergantung, bahwa oa diadakan, bahwa ia bercita-cita tinggi, bahwa ia merindukan kebahagiaan dan sebagainya), maka ia akan sampai kepada pengertian tentang Tuhan.
Hal ini tidak kami bentangkan di sini dan kami kemukakan ialah untuk menunjukkan apakah sebenarnya filsafat itu dan bagaimanakah timbulnya filsafat itu. Pada hakikatnya: “filsafat adalah pengertian tentang manusia sekedar ia bergerak ke arah Tuhan“.



Sumber: Salam Burhanuddin. 2008. Pengantar Filsafat. Jakarta: PT. Bumi Aksara












Tidak ada komentar:

Posting Komentar