A.
Pengertian
Metafisika
Metafisika merupakan bagian dari aspek
ontologi dalam kajian filsafat. Konsepsi metafisika berasal dari bahasa
Inggris: metaphysics, Latin: metaphysica dari Yunani meta ta physica (sesudah
fisika); dari kata meta (setelah,
melebihi) dan physikos (menyangkut alam) atau physis (alam). Metafisika merupakan bagian Filsafat tentang hakikat
yang ada di sebalik fisika. Hakikat yang bersifat abstrak dan di luar jangkauan
pengalaman manusia. Tegasnya tentang realitas kehidupan di alam ini: dengan
mempertanyakan yang Ada (being), Alam ini wujud atau tidak? Siapakah kita
(manusia)? Apakah peranan kita (manusia) dalam kehidupan ini?. Metafisika
secara prinsip mengandung konsep kajian tentang sesuatu yang bersifat rohani
dan yang tidak dapat diterangkan dengan kaedah penjelasan yang ditemukan dalam
ilmu yang lain.
Secara etimologi meta adalah tidak dapat
di lihat oleh panca indera, sedangkan
fisika adalah fisik. Jadi metafisika adalah sesuatu yang tidak dapat di lihat
secara fisik. Metafisika tidak bisa di uji secara empiris karena keberadaanya
yang abstrak. Secara
terminology metafisika Meta berasal (bahasa Italia) berarti setelah atau
dibelakang. Adapun istilah lain metafisika
berakar dari kata Yunani, metataphysica. Dengan membuang ta tambahan dan mengubah physica ke fisika (physics) jadilah istilah
metafisika yang berarti sesuatu di luar hal-hal fisik. Istilah metafisika
diketemukan Andronicus pada tahun 70 SM ketika menghimpun karya-karya
Aristoteles. Kata ini di-Arabkan menjadi ma’ ba’da al-thabi’ah (sesuatu setelah
fisika). Menurut penuturan para sejarahwan filsafat, kata ini pertama kali
digunakan sebagai judul buku Aristoteles setelah bagian fisika dan membuat
pembahasan umum tentang eksistensi. Sebagian filosof Muslim merasa lebih cocok
menggunakan istilah ma qabla al-thabi’ah (sesuatu sebelum fisika). Tampaknya,
bagian yang berbeda adalah teologi utsulujiyyah. Dalam karya-karya para filosof
Muslim, semua pembahasan di atas digabungkan dalam bagian “ketuhanan dalam arti
umum”. Sedangkan teologi dikhususkan
dengan nama “ketuhanan dalam arti khusus”. Maka, metafisika dipakai untuk
menyebut kumpulan soal-soal teoretis-intelektual filsafat dalam arti umum.
Metafisika dalam sebuah ensiklopedia
Britannica filsafat di artikan sebagai berikut:
1.
“Metaphysics is the
philosophical study whose objek is to determine the meaning, structure and
principles of whater is insofar as it is. Although this study is popularly
conceived as referring to anything excessively subtle and highly theoretical
and although it has been subjected to many criticisms, it is presented by
metaphysicians as the most fundamental and most comprehensive of inquiries,
inasmuch as it is concerned with reality as a whole”.
2.
“Metafisika adalah studi filosofis
yang objeknya untuk menentukan arti, struktur dan prinsip-prinsip. walaupun ini
mengacu pada sesuatu yang terlalu halus dan sangat teoritis dan meskipun mengalami banyak kritik. Maka
banyak pertanyaan metafisika yang paling mendasar dan paling komprehensif,
karena metafisika berkaitan dengan realitas secara keseluruhan”.
B.
Pemikiran
Para Filosof Terhadap Metafisika
Metafisika dalam arti filosofis pada abad pertengahan
istilah metafisika mempunyai arti filosofis. Metafisika oleh para filsuf Skolastik diberi arti filosofis dengan mengatakan
bahwa metafisika ialah ilmu tentang yang ada, karena muncul sesudah dan
melebihi yang fisika (post physicam et
supraphysicam). Istilah sesudah
tidak boleh diartikan secara temporal. Istilah
sesudah yang dimaksudkan disini ialah bahwa objek metafisika sendiri
berada pada sesuatu yang abstrak.
1. Pemikiran
Metafisika Menurut filosof Barat
Pemikiran metafisika bagi para filosof
barat itu berbeda-beda. Yaitu dapat dilihat dalam uraian berikut:
a. Menurut
Plato metafisika lebih cenderung pada manusia karena manusia terdiri dari tubuh
dan jiwa. Dimana sifat tubuh adalah material, sedang sifat jiwa adalah
immaterial.
b. Menurut Aristoteles,
Keteraturan alam semesta ini ditentukan oleh gerak (motion). Gerak merupakan penyebab terjadinya perubahan (change) di alam semesta. Akhirnya akal
manusia tiba pada suatu titik yang ultimate, yaitu sumber penyebab dari semua
gerak, yaitu Unmoved Mover, Penggerak yang tadak digerakkan.
c. Menurut Immanuel Kant, dalam diri setiap
manusia ada dua kecenderungan yang bersifat niscaya, yaitu keinginan untuk
hidup bahagia, dan berbuat baik. Kedua kecenderungan itu akan
dapat terwujud dalam kehidupan manusia apabila dijamin oleh kebebasan kehendak
keabadian jiwa, dan Tuhan sebagai penjamin hukum moral.
d. Menurut Cristian Wloff
mengkasifikasi metafisika menjadi dua yaitu, metafisika generalis (ontologi)
dan metafisika specialis (kosmologi, psikologi, dan theologi). Dimana
metafisika generalis adalah yang dapat di serap oleh inderawi, sedangkan
metafisika specialis adalah yang tidak dapat di serap oleh inderawi.
2. Pemikiran
Metafsika Menurut Filosof Islam
a. Al-Kindi
Tentang filsafat al-Kindi memandang bahwa
filsafat haruslah diterima sebagai bagian dari peradaban Islam. Ia berupaya
menunjukkan bahwa filsafat dan agama merupakan dua barang yang bisa serasi, ia
menegaskan pentingnya kedudukan filsfat dengan menyatakan bahwa aktifitas
filsafat yang definisi nya adalah mengetahui hakikat sesuatu sejauh batas
kemampuan manusia dan tugas filosof adalah mendapatkan kebenaran.
Tentang metafisika alam al-Kindi
mengatakan bahwa alam ini adalah illat-Nya. Alam itu tidak mempunyai asal,
kemudian menjadi ada karena diciptakan Tuhan. Al-Kindi juga menegaskan mengenai
hakikat Tuhan, Tuhan adalah wujud yang hak (benar) yang bukan asalnya tidak ada
menjadi ada, ia selalu mustahil tidak ada, jadi Tuhan adalah wujud yang
sempurna yang tidak didahului oleh wujud yang lain.
b. Al-Farabi
Bagi al-Farabi, filafat mencakup
matematika, dan matematika bercabang pada ilmu-ilmu lain, sebagaimana ilmu itu
berlanjut pada metafisika. Menurut al-farabi bagian metafisika ini secara
lengkap dipaparkan oleh aristoteles dalam metaphysics yang sering juga diacu
dalam sumber-sumber Arab sebagai “book of letters”, karya ini terdiri atas
bagian utama yaitu menelaah
yang ada jauh keberadaannya atas ontology. Menelaah
beberapa kaidah pembuktian yang umum dalam logika, matematika dan fisika, atas
epistimologi. Menelaah
apa dan bagaimana substansi-substansi mujarad (immaterial) yang berjenjang ini
menanjak dari yang terendah sampai ke yang tinggi dan berpuncak pada wujud yang
sempurna. Dan tak ada yang lebih sempurna dari apa yang telah ada.
Tuhan adalah wujud yang sempurna, ada
tanpa suatu sebab, kalau ada sebab baginya, maka adanya Tuhan tidak sempurna
lagi. Berarti adanya Tuhan bergantung kepada sebab yang lain, karena itu ia
adalah substansi yang azali, yang ada dari semula dan selalu ada, substansi itu
sendiri telah cukup jadi sebab bagi keabadian wujudnya. Al-Farabi dalam
metafisika nya tentang ketuhanan hendak menunjukkan keesaan Tuhan, juga dijelaskan
pula mengenai kesatuan antara sifat dan zat (substansi) Tuhan, sifat Tuhan
tidak berbeda dari zat Nya, karena Tuhan adalah tunggal.
c. Al-Razi
Persoalan metafisika yang dibahas oleh
al-Razi seperti halnya yang ada pada filsafat yunani kuno yaitu tentang adanya
lima prinsip yang kekal yaitu: Tuhan, Jiwa Unversal, materi pertama, ruang
absolut, dan zaman absolut. Secara
prinsip tentang metafiska dikatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan
substansi ketuhanan-nya kemudian akal, akal berfungsi menyadarkan manusia bahwa
dunia yang dihadapi sekarang ini bukanlah dunia yang sebenarnya, dunia yang
sebenarnya itu dapat dicapai dengan berfilsafat. Dalam karya tulis al-Razi,
al-Tibb al-Ruhani (kedokteran Jiwa) tampak jelas bahwa ia sangat tinggi
menghargai akal, dikatakannya bahwa akal adalah karya terbesar dari Tuhan bagi manusia.
Sumber: Bagus Lorens, Suwandi. 1991. Metafisika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar