Permasalahan yang berhubungan dengan
filsafat kehidupan dan tujuan penciptaan bukanlah hal baru bagi manusia. Di
sepanjang sejarah, pada setiap masyarakat, terdapat banyak individu mengkaji
tema ini dengan meilhat perspektif dan amal perbuatan mereka yang beragam.
Usaha cemerlang dari para filosof Yunani, pemikir Rum, dan para teolog dari
mazhab-mazhab besar tentang penafsiran kehidupan hakiki manusia merupakan dalil
yang jelas untuk menetapkan bahwa persoalan tersebut telah direnungkan secara
global.
Berdasarkan realitas ini, permasalahan
tentang filsafat penciptaan dan tujuan kehidupan dalam konteks sejarah sejalan
dengan peradaban manusia itu sendiri. Belum terdapat pembahasan tersendiri
secara mendetail yang berhubungan dengan filsafat dan tujuan penciptaan pada
tiga abad terakhir, namun pada masa kini hal itu telah dijadikan tema mandiri
yang dikaji secara hangat, mendetail, dan mendalam.
Hangatnya pembahasan tema ini pada zaman
modern karena tidak tercapainya harapan kemanusian yang diamanatkan kepada ilmu
dan teknologi, walaupun apa yang telah dicapai sekarang ini kurang lebih
sempurna secara material, teknologi, dan informasi, tetapi peradaban manusia
dari dimensi psikologi dan spiritual mengalami kemunduran yang luar biasa yang
belum pernah diprediksi oleh manusia itu sendiri. Kezaliman, ketidakadilan dan
penderitaan umat manusia yang terjadi pada masa kini jauh lebih buruk dan
menakutkan dari apa yang terjadi pada masa lampau, manusia lebih rendah dari
binatang dan lebih licik dari iblis.
Kita mengetahui bahwa langkah pertama
yang diambil untuk membahas setiap pokok masalah adalah meneliti secara tepat
substansi dan latar belakang munculnya tema permasalahan dari semua aspek.
Misalnya, begitu banyak kritikan dan sanggahan atas pembahasan yang berhubungan
dengan fenomena-fenomena alam karena faktor ketiadaan pengamatan dan pengkajian
yang tepat atas latar belakang permasalahan. Oleh karena itu, yang
pertama harus dilakukan untuk mengenal dan mengungkap rahasia filsafat penciptaan
dan tujuan hakiki kehidupan manusia adalah mengkaji faktor-faktor dan
motivasi-motivasi yang menyebabkan manusia lebih terdorong untuk memperhatikan
dimensi filsafat penciptaan dan tujuan kehidupannya.
Dalam hal ini, adalah suatu kekeliruan
apabila kita memandang bahwa solusi dari setiap masalah-masalah yang berkaitan
dengan esensi manusia sama dengan kita menarik suatu garis lurus untuk
menghubungkan antara titik awal dan titik akhir. Yang terbaik adalah
memaparkan hal-hal yang substansial dan esensial kemudian mencari solusinya
yang tepat. Di bawah ini akan kami jabarkan secara terperinci berbagai
faktor-faktor dan alasan-alasan manusia yang mengharuskannya berpaling dan
merenungkan kembali apa filsafat penciptaan dan tujuan kehidupannya.
1.
Kehidupan
dunia akan sirna
Mayoritas
manusia ketika memandang aspek ketidaklanggengan, ketidakabadian, dan
keterbatasan kehidupan di dunia ini lantas melahirkan pertanyaan-pertanyaan
tentang filsafat penciptaan dan tujuan kehidupan. Semua kebahagiaan,
kenikmatan,
dan kebaikan di dunia ini mesti
mengalami kefanaan, kehancuran, dan kepunahan. Tak satupun dari perkara dan
realitas kehidupan yang abadi dan langgeng.
Inilah
sebuah kenyataan yang tak satupun manusia mengingkarinya. Di lubuk hatinya yang
terdalam ia bertanya: apakah tujuan dan arah kehidupan? Apakah hakikat
penciptaan alam yang tidak abadi ini? Apakah makna dan nilai-nilai kehidupan di
dunia ini? Apakah substansi dan esensi kehidupan material ini?
Apakah
yang diinginkan dari kehidupan seperti ini? Apakah masa kanak-kanak harus
berakhir dengan masa remaja? Apakah masa remaja mesti berujung pada masa dewasa
dan masa tua? Bukankah
setelah semua penderitaan, kesedihan, dan kemalangan yang di alami manusia di
dunia ini berakhir niscaya beralih pada kebahagiaan, kegembiraan, dan
keberuntungan manusia? Bagaimana dengan segelintir manusia yang selama hidupnya
senantiasa mengalami penderitaan dan kezaliman?
Pada
dasarnya manusia senantiasa merindukan kesempurnaan, kebaikan, dan kebahagiaan
hakiki, apabila ia telah mendapatkan apa yang dicita-citakan, maka mustahil ia
menanyakan dan merenungkan kembali hal-hal yang berhubungan dengan hakikat
hidup, filsafat penciptaan, dan tujuan kehidupan.
2.
Misteri
kematian
Kehidupan setiap manusia, baik yang
dijalani dengan penuh kebahagiaan dan kegembiraan atau dilalui dengan segala
penderitaan, kemalangan, dan kezaliman harus berujung dan berakhir dengan
realitas kematian. Kematian merupakan suatu kenyataan yang tidak mungkin
dipungkiri dan mustahil ditolak oleh semua manusia bahkan oleh setiap makhluk.
Seluruh manusia jujur berkata bahwa satu-satunya kenyataan dalam catatan
kehidupan mereka adalah kematian.
Ketika manusia melihat kehidupannya
sendiri, ia mendapatkan kehidupannya yang harus berujung pada gerbang kematian.
Ia lantas merenung bahwa mengapa kehidupan dunia ini tercipta dan setelah
menjalaninya untuk beberapa waktu lamanya dalam kubangan lumpur penderitaan
mesti berakhir pada kematian?
Kenapa tidak dari awalnya kehidupan alam
materi ini dibentuk secara abadi dan berkepanjangan? Apakah permainan kehidupan
ini yang ujungnya adalah kematian mempunyai arah dan tujuan? Apakah substansi
dan esensi kehidupan?
Begitu banyak manusia yang dapat kita
saksikan bagaimana dalam kehidupannya bersikap acuh tak acuh terhadap hakikat
dan tujuan penciptaan, tetapi ketika mendengar atau menyaksikan langsung
kematian salah satu dari keluarga yang dicintainya maka ia seketika tersentak
dan kemudian larut merenungan kembali tentang filsafat penciptaan dan tujuan kehidupan
manusia di dunia ini.
3.
Kegagalan
Cita-Cita
Pengaruh yang cukup besar dalam upaya
mengalihkan manusia untuk kembali merenungkan tentang tujuan hakiki kehidupan
dunia adalah ketika manusia menghadapi beragam kegagalan dan putus asa dalam
menggapai cita-cita dan keinginan duniawi.
Dalam menjalani kehidupan di alam fana
ini manusia diharuskan merancang cita-citanya yang relatif itu dan kemudian
berupaya untuk mencapainya dengan segala kemampuan yang ada padanya. Tetapi
sangat disayangkan, manusia yang semestinya menjadikan cita-cita yang relatif
itu sebagai perantara meraih tujuan hakiki dan filsafat kehidupan, hanya akan
berpaling kepada cita-cita hakiki ketika mulai terjebak dan tersudut di pojok
kehidupan, putus asa, dan tak mampu lagi berbuat yang terbaik bagi kehidupan
duniawinya.
Point yang perlu juga diperhatikan di
sini berhubungan dengan perenungan kembali persoalan hakikat dan filsafat
penciptaan adalah ketinggian cita-cita seseorang. Sebagai contoh, seorang
musafir yang menentukan tujuan perjalanannya pada wilayah tertentu dalam waktu
yang terbatas. Ketika ia tidak dapat mencapai tujuan perjalanannya itu
terkadang ia merenung sejenak mengenai arti kehidupan dan tujuan manusia
dihamparan kehidupan alam materi ini.
Apabila telah bertahun-tahun lamanya
berusaha namun apa yang dicita-citakannya sama sekali tak kunjung tercapai, ia
malah semakin bangkrut dan akhirnya putus asa. Dalam keputus-asaannya, ia
menggugat peran kekayaan dan keilmuannya yang tidak dapat menafsirkan secara
benar dan bisa mengantarkan kehidupannya kepada apa-apa yang dicita-citakan,
disaat seperti ini, terkadang akan mengarahkan pikiran-jernih dan menggoyah
kesadaran batinnya untuk kembali merenungkan tujuan hakiki kehidupan dan
filsafat penciptaan.
4.
Kehidupan
sosial yang tak menguntungkan
Keadaan
kehidupan masyarakat yang sarat dengan problem dan masalah yang sulit mencari
solusi dan pemecahannya merupakan salah satu faktor yang dapat membuat manusia
kembali merenungkan makna kehidupan dan tujuan penciptaannya.Seorang miskin
yang jauh dari kenikmatan kehidupan duniawi, kehidupannya dijalani dengan
segala penderitaan, usaha keras dan banting tulang dari pagi hingga malam hari
terus mencari sesuap nasi dan memenuhi segala kebutuhan primernya, orang
seperti ini yang hanya mendapatkan penderitaan dan kemalangan hidup niscaya
akan merenungkan kembali makna dan arti kehidupan. Mengapa kita mesti hadir di
dunia ini sehingga harus menjalani kehidupan dengan penuh penderitaan dan
kemalangan?
Tapi
kalau diperhatikan sejenak, begitu banyak orang-orang seperti ini bila meraih
apa yang dikehendakinya di dunia ini kemungkinan besar tidak memikirkan hal-hal
yang berhubungan dengan makna dan tujuan penciptaan, karena mereka sesungguhnya
hanya menginginkan perubahan kondisi kehidupan duniawinya dan lantas
menempatkan secara salah pertanyaan tentang tujuan hidup.
5.
Pertanyaan
hakiki tentang filsafat penciptaan
Hal-hal yang dikemukakan di atas
belumlah menyentuh jawaban hakiki dari permasalahan tujuan kehidupan dan
filsafat penciptaan, mereka yang mencari jawaban itu pada dasarnya hanyalah
bersifat aksidental karena penderitaan hidup senantiasa meliputi diri mereka. Tapi bagi mereka yang
tidak lagi dipengaruhi oleh watak kehidupan material dan bahkan menguasai
seluruh sendi kehidupan duniawi, memandang kehidupan dunia ini dan segala
realitas keberadaan niscaya akan mendapatkan jawaban hakiki atas pertanyaan
tentang filsafat hidup dan tujuan penciptaan tersebut.
Memandang kehidupan dunia ini secara
hakiki, hanya bisa dirahi ketika manusia lepas dari pengaruh emosional dan
kejiwaan yang menimpa kehidupan dunianya dan melihatnya dengan jiwa yang suci
dan perenungan rasional, dengan demikian ia akan mencapai masalah yang hakiki
mengenai tujuan penciptaan dan jawaban atasnya. Sesungguhnya jawaban
atas masalah tersebut ada dalam jiwa setiap manusia, tujuan dan filsafat
penciptaan tidak terletak di dalam kehidupan material dan fenomena-fenomena
lahiriah seperti makan, minum, dan tidur serta kecenderungan-kecenderungan
alami lainnya. Apabila
manusia telah puas dengan kehidupan material dan duniawi ini, maka ia tak lagi
mengejar pertanyaan-pertanyaan tentang dari mana kita datang?
Para pengikut filsafat nihilisme juga
melakukan suatu kesalahan besar, karena mereka memandang bahwa kehidupan hakiki
hanyalah kehidupan dunia-material. Oleh karena itu, segala hal, termasuk tujuan
dan filsafat penciptaan didasarkan dan ditafsirkan berdasarkan watak kehidupan
duniawi. Mereka menolak tujuan lain selain ini. Pandangan yang
berlawanan dengan perspektif di atas adalah bahwa kehidupan dunia-material
bukanlah tujuan akhir dan hakiki, mereka beranggapan bahwa alam itu tidak
terbatas pada alam materi saja melainkan terdapat juga alam akal dan mitsal
(barzakh). Alam-alam
ini, walaupun mempunyai tujuan-tujuan sementara, tetapi secara universal memiliki
tujuan akhir dan hakiki adalah
suatu kesalahan apabila kita memandang bahwa kumpulan dari tujuan-tujuan setiap
alam itu merupakan tujuan esensial dan hakiki. Tujuan hakiki tak lain adalah
tujuan akhir seluruh penciptaan dan realitas kehidupan.
Sumber: Snijders Adelber., 2006. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar