Aliran ini merupakan aliran yang sangat
penting dalam perkembangan sejarah pemikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat
barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. Plato menyatakan
bahwa alam cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun
alam nyata yang menempati ruang ini hanya berupa bayangan saja dari alam ide.
Aristoteles memberikan sifat kerohanian
dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai suatu tenaga yang berada
dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat
dikatakan bahwa paham idealisme sepanjang masa tidak pernah hilang sama sekali.
Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh
semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini.
Pada zaman
Aufklarung para filosof yang mengakui aliran serba dua (dualisme) seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan
kebendaan, maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting
daripada kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan
kepada penganut idealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka
tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam. Puncak jaman idealisme pada
masa abad ke-18 dan 19 ketika periode idealisme.
Secara historis, idealisme
diformulasikan dengan jelas pada abad IV sebelum masehi oleh Plato (427-347
SM). Semasa Plato hidup kota Athena adalah kota yang berada dalam kondisi
transisi (peralihan). Peperangan bangsa Persia telah mendorong Athena memasuki
era baru. Seiring dengan adanya peperangan-peperangan tersebut, perdagangan dan
perniagaan tumbuh subur dan orang-orang asing tinggal diberbagai penginapan
Athena dalam jumlah besar untuk meraih keuntungan mendapatkan kekayaan yang
melimpah. Dengan adanya hal itu, muncul berbagai gagasan-gagasan baru ke dalam
lini budaya bangsa Athena. Gagasan-gagasan baru tersebut dapat mengarahkan
warga Athena untuk mengkritisi pengetahuan & nilai-nilai tradisional. Saat
itu pula muncul kelompok baru dari kalangan pengajar (para Shopis. Ajarannya
memfokuskan pada individualisme, karena mereka berupaya menyiapkan warga untuk
menghadapi peluang baru terbentuknya masyarakat niaga. Penekanannya terletak
pada individualisme, hal itu disebabkan karena adanya pergeseran dari budaya
komunal masa lalu menuju relativisme dalam bidang kepercayaan dan nilai.
Aliran filsafat Plato dapat dilihat
sebagai suatu reaksi terhadap kondisi perubahan terus-menerus yang telah
meruntuhkan budaya Athena lama. Ia merumuskan kebenaran sebagai sesuatu yang
sempurna dan abadi (eternal). Dan sudah terbukti, bahwa dunia eksistensi
keseharian senantiasa mengalami perubahan. Dengan demikian, kebenaran tidak
bisa ditemukan dalam dunia materi yang tidak sempurna dan berubah. Plato
percaya bahwa disana terdapat kebenaran yang universal dan dapat disetujui oleh
semua orang. Contohnya dapat ditemukan pada matematika, bahwa 5 + 7 = 12 adalah
selalu benar (merupakan kebenaran apriori), contoh tersebut sekarang benar, dan
bahkan di waktu yang akan datang pasti akan tetap benar.
Idealisme dengan penekanannya pada kebenaran yang tidak berubah,
berpengaruh pada pemikiran kefilsafatan. Selain itu, idealisme ditumbuh
kembangkan dalam dunia pemikiran modern. Tokoh-tokohnya antara lain: Rene Descartes
(1596-1650), George Berkeley (1685-1753), Immanuel Kant (1724-1804) dan George
W. F. Hegel (1770-1831). Seorang idealis dalam pemikiran pendidikan yang paling
berpengaruh di Amerika adalah William T. Harris (1835-1909) yang menggagas
Journal of Speculative Philosophy. Ada dua penganut idealis abad XX yang telah
berjuang menerapkan idealisme dalam bidang pendidikan modern, antara lain: J.
Donald Butler dan Herman H. Horne. Sepanjang sejarah, idealisme juga terkait
dengan agama, karena keduanya sama-sama memfokuskan pada aspek spiritual dan
keduniawian lain dari realitas.
Ø Tokoh-tokoh
Idealisme :
a. Plato
(477 -347 Sb.M)
Menurut Plato, kebaikan merupakan
hakikat tertinggi dalam mencari kebenaran. Tugas ide adalah memimpin budi
manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah mengetahui
ide, manusia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakannya
sebagai alat untuk mengukur, mengklarifikasikan dan menilai segala sesuatu yang
dialami sehari-hari.
b. Immanuel
Kant (1724 -1804)
Ia menyebut filsafatnya idealis
transendental atau idealis kritis dimana paham ini menyatakan bahwa isi
pengalaman langsung yang kita peroleh tidak dianggap sebagai miliknya sendiri
melainkan ruang dan waktu adalah forum intuisi kita. Dapat disimpulkan bahwa
filsafat idealis transendental menitik beratkan pada pemahaman tentang sesuatu
itu datang dari akal murni dan yang tidak bergantung pada sebuah pengalaman.
c. Pascal
(1623-1662)
Kesimpulan
dari pemikiran filsafat Pascal antara lain :
1) Pengetahuan
diperoleh melalaui dua jalan, pertama menggunakan akal dan kedua menggunakan
hati.
2) Manusia
besar karena pikirannya, namun ada hal yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran
manusia yaitu pikiran manusia itu sendiri. Menurut Pascal manusia adalah
makhluk yang rumit dan kaya akan variasi serta mudah berubah. Untuk itu
matematika, pikiran dan logika tidak akan mampu dijadikan alat untuk memahami
manusia. Menurutnya alat-alat tersebut hanya mampu digunakan untuk memahami
hal-hal yang bersifat bebas kontradiksi, yaitu yang bersifat konsisten. Karena
ketidak mampuan filsafat dan ilmu-ilmu lain untuk memahami manusia, maka
satu-satunya jalan memahami manusia adalah dengan agama. Karena dengan agama,
manusia akan lebih mampu menjangkau pikirannya sendiri, yaitu dengan berusaha
mencari kebenaran, walaupun bersifat abstrak.
3) Filsafat
bisa melakukan apa saja, namun hasilnya tidak akan pernah sempurna.
Kesempurnaan itu terletak pada iman. Filsafat bisa menjangkau segala hal,
tetapi tidak bisa secara sempurna. Karena setiap ilmu itu pasti ada
kekurangannya, tidak terkecuali filsafat.
d. J. G. Fichte (1762-1914 M.)
Ia adalah seorang filsuf jerman. Ia
belajar teologi di Jena (1780-1788 M). Pada tahun 1810-1812 M, ia menjadi
rektor Universitas Berlin. Filsafatnya
disebut “Wissenschaftslehre” (ajaran
ilmu pengetahuan). Secara sederhana pemikiran Fichte: manusia memandang objek
benda-benda dengan inderanya. Dalam mengindra objek tersebut, manusia berusaha
mengetahui yang dihadapinya. Maka berjalanlah proses intelektualnya untuk
membentuk dan mengabstraksikan objek itu menjadi pengertian seperti yang
dipikirkannya.
e. F.
W. S. Schelling (1775-1854 M.)
Schelling telah
matang menjadi seorang filsuf disaat dia masih amat muda. Pada tahun 1798 M,
dalam usia 23 tahun, ia telah menjadi guru besar di Universitas Jena. Dia adalah
filsuf Idealis Jerman yang telah meletakkan dasar-dasar pemikiran bagi
perkembangan idealisme Hegel.
Inti dari
filsafat Schelling: yang mutlak atau rasio mutlak adalah sebagai identitas
murni atau indiferensi, dalam arti tidak mengenal perbedaan antara yang
subyektif dengan yang obyektif. Yang mutlak menjelmakan diri dalam 2 potensi
yaitu yang nyata (alam sebagai objek) dan ideal (gambaran alam yang subyektif
dari subyek). Yang mutlak sebagai identitas mutlak menjadi sumber roh (subyek)
dan alam (obyek) yang subyektif dan obyektif, yang sadar dan tidak sadar.
Tetapi yang mutlak itu sendiri bukanlah roh dan bukan pula alam, bukan yang
obyektif dan bukan pula yang subyektif, sebab yang mutlak adalah identitas mutlak
atau indiferensi mutlak.
Maksud dari
filsafat Schelling adalah, yang pasti dan bisa diterima akal adalah sebagai
identitas murni atau indiferensi, yaitu antara yang subjektif dan objektif sama
atau tidak ada perbedaan. Alam sebagai objek dan jiwa (roh atau ide) sebagai
subjek, keduanya saling berkaitan. Dengan demikian yang mutlak itu tidak bisa
dikatakan hanya alam saja atau jiwa saja, melainkan antara keduanya.
f. G.
W. F. Hegel (1770-1031 M.)
Ia
belajar teologi di Universitas Tubingen dan pada tahun 1791 memperoleh gelar
Doktor. Inti dari filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh atau spirit), suatu
istilah yang diilhami oleh agamanya. Ia berusaha menghubungkan yang mutlak
dengan yang tidak mutlak. Yang mutlak itu roh atau jiwa, menjelma pada alam dan
dengan demikian sadarlah ia akan dirinya. Roh itu dalam intinya ide (berpikir).
Ihsan , A. Fuad. 2010. Filsafat
Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta.
Terimakasih sangat membantu
BalasHapus