Siapapun yang hidup di dunia ini, semua
manusia tiada terkecuali pasti akan mati, lantas apa sebenarnya yang akan
dituju oleh manusia di dunia ini. Apa hanya hidup semata-mata untuk bekerja,
berumah tangga, bersuka ria, bersenang-senang dengan harta yang dimilikinya,
atau hanya bersedih dan berkeluh kesah dalam kemiskinan, kemudian lalu kita
mati tidak berdaya ?. Lantas setelah mati kita akan menguap seperti asap dari
rokok yang dibakar, hilang entah kemana. Ataukah manusia yang memang dilahirkan
dalam ketiadaan itu, akan mati dalam ketiadaan pula ?. Kalau iya, benarkah
hidup manusia di dunia ini sia-sia belaka ?.
Tentunya tidaklah demikian, sesungguhnya
bahwa manusia akan terus ada dan tidak akan pernah menguap ataupun menghilang,
karena manusia akan menjalani kehidupan di akhirat nanti. Dengan demikian maka
jelaslah bahwa yang dituju oleh semua manusia adalah akhirat kelak. Suka atau
tak suka, lambat atau cepat, mengelak ataupun mengakui, semua manusia pasti
akan menuju kesana. Manusia dalam hidupnya selalu merindukan kebahagiaan,
sementara banyak persepsi manusia bahwa ia tidak akan pernah mencapai
kebahagiaan selama terikat dengan aturan aturan hukum tertentu.
Perjalanan waktu ternyata memutar
balikan paham tersebut, bukti sejarah menunjukkan, kebahagiaan yang hakiki
ternyata bukanlah berasal dari pola hidup bebas tanpa aturan seperti burung
terbang di angkasa, justru diperoleh melalui pola hidup yang konsisten mentaati
suatu aturan tertentu, baik aturan yang dihasilkan dari buah karya manusia
bijak zaman yang lampau, ataupun bahkan yang dibuat langsung oleh Sang Maha
Pencipta Alam Semesta ini, yang orang meny ebutnya aturan-aturan ini dengan
istilah agama. Jadi pada hakikatnya agama adalah suatu pedoman hidup yang
menuntun penganutnya untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki, baik di dunia
maupun di akhirat kelak.
Yang merupakan langkah awal dalam
mencari kebahagiaan, para ahli sependapat bahwa manusia harus mengetahui dan
menyadari terlebih dahulu tentang makna keberadaannya di dunia ini. Kitab Suci
dari masing-masing agama sebagai pedoman hidup yang diyakininya, menjelaskan
tentang konsepsi manusia dengan amat jelas dan gamblang. Manusia adalah makhluk
hidup yang diberi kebebasan penuh dalam berprilaku dan bertindak, apakah mau
taat atau mau membangkang terhadap aturan main yang sudah ditentukan oleh Kitab
Sucinya, tinggal pilih mau kenikmatan surga atau siksa neraka.
Namun dalam kenyataan dan prakteknya,
ternyata untuk dapat selalu taat pada aturan agama tidaklah mudah, karena ada
dorongan hawa nafsu ataupun rayuan setan yang selalu menggoda. Bila manusia
mampu mengendalikan nafsu yang ada pada dirinya masing-masing dan menaklukkan
rayuan setan yang selalu mengajak untuk membangkang, maka ia dapat selalu taat
melaksanakan aturan agama yang diyakininya. Oleh karena itu manusia perlu
berupaya untuk meningkatkan dan mempertebal keyakinannya (keimanannya).
Pengalaman hidup mengajarkan, bahwa
keyakinan seperti layaknya anak tangga, tidak datar tetapi bertingkat-tingkat.
Sesuai dengan tingkatannya, tergantung bagaimana orang memfungsikan akal dan
kalbunya secara optimal dalam upaya menggapai kebenaran dan kebahagiaan yang
hakiki. Semakin tinggi tingkat keyakinan seseorang, semakin tinggi pula ujian
yang harus dihalau, ujian terberat bagi kebanyakan manusia adalah yang
berkaitan dengan harta dan pangkat. Harta dan pangkat sering dengan mudah
membuat manusia terbius, terlena dan terlupa akan tujuan hidupnya yang hakiki
di dunia ini.
Bila dilihat dari permukaan saja, dunia
ini sangat indah dan mempesona, maka tak heran banyak yang tergiur dan
terpedaya olehnya. Padahal kalau kita mau menyelami dan mendalami hakikat yang
sebenarnya, maka akan nampak dunia itu tak lain hanyalah panggung sandiwara dan
tipuan kosong belaka. Betapa hari ini dibuatnya kita tertawa terpingkal-pingkal,
namun esok hari dibuatnya kita menagis tersedu-sedu. Maka barang siapa
menyaksikan dunia dengan menggunakan mata batinnya, niscaya ia tidak akan rela
menggunakan sebahagian besar waktu dan tenaganya hanya untuk merengkuh dunia
kedalam genggamannya.
Oleh karena itu kita harus segera
menyadari, bahwa dunia hanyalah batu loncatan bagi manusia untuk mencapai
akhirat. Dunia bukanlah tempat yang diciptakan Tuhan untuk ditinggali
selamanya, namun hanyalah tempat persinggahan sementara dalam perjalanan kita
manuju kampung halaman yang abadi yang telah disediakan Yang Kuasa, yaitu
akhirat. Bukankah bagi seorang pengembara itu, kenikmatan adanya di akhir
perjalanan ?. Selamat menjalankan ibadah puasa romadhon bagi umat muslim, mohon
maaf lahir bathin, semoga segala amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Bagi
seluruh rakyat negeri ini, mari kita implementasikan kedamaian dan kerukunan
umat beragama di bumi pertiwi tercinta ini.
Sumber: Usiono,M.A. 2006. Pengantar Filsafat Pendidikan. Jakarta:
Hijri Pustaka Utama Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar