Menumbuhkan kembali rasa cinta generasi
muda terhadap bahasa daerah, salah satunya dilakukan dengan mengajarkannya di
lembaga pendidikan formal. Pada beberapa bahasa daerah, hal itu sudah lama
dilakukan. Misalnya, sejak tahun ajar 2005/2006, bahasa Jawa wajib diajarkan di
SLTA. Dengan demikian, jenjang pembelajarannya lengkap dari SD sampai dengan
SLTA. Senada dengan itu ialah sikap masyarakat Sulawesi Selatan. Namun, seperti
terjadi pada bahasa Jawa, model pembelajaran itu mungkin juga cenderung dalam
bentuk ceramah sehingga membosankan siswa.
1.
Model
Pembelajaran Bahasa Daerah
Dalam kaitan dengan model pembelajaran
dalam bentuk ceramah yang dianggap membosankan siswa, model pembelajaran yang
sifatnya nonceramah tentu menjadi menarik. model pembelajaran bahasa Jawa yang
didasarkan pada pendekatan komunikatif. Strategi pembelajarannya berciri (1)
semipermainan untuk meningkatkan motivasi intrinsik siswa, (2) didominasi
bentuk praktik untuk mengaktifkan siswa, dan (3) menempatkan siswa sebagai
pusat (Zuchdi, 1994: 11 dan Tim Penyusun Buku Pedoman Pengajaran Bahasa Jawa
untuk Siswa SMA, 2010: 24—25).
Model
pembelajaran itu diakronimkan dengan basjam, yaitu bahasa Jawa yang
menyenangkan di antaranya sebahgai berikut :
a. Basjam
model bermain kata. Model itu diterapkan untuk tujuan meningkatkan penguasaan
kosakata siswa, baik ngoko maupun krama. Basjam model bermain kata terwujud
dalam dua strategi, yaitu (1) teka-teki silang (TTS) dan (2) skrebel. Peranti
yang diperlukan ialah lembar TTS atau lembar skrebel.
b. Basjam
model bermain peran. Model itu diterapkan untuk meningkatkan penguasaan
kosakata, penguasaan gramatika, kemampuan bicara, dan kemampuan mengapresiasi
sastra. Basjam model bermain peran terwujud dalam dua strategi, yaitu (1)
bermain sandiwara dan (2) berbicara monolog dalam forum resmi dan tidak resmi.
Peranti yang diperlukan ialah (penggalan) naskah sandiwara atau teks monolog. Basjam
model bermain peran sangat cocok untuk melatih kemampuan aksen berbahasa daerah
sebagai salah satu kekhasan sebuah bahasa. Pelatihan aksen itu menjadi penting
mengingat banyak generasi muda yang sudah kehilangan aksen bahasa ibu. Pada
generasi muda Jawa misalnya, kerancuan aksen terlihat pada ketakpekaan untuk,
setidaknya, membedakan lafal [ṭ] dan [t], seperti pada kata sotho ‘pukul’ dan
soto ‘soto’; [ḍ] dan [d], seperti pada kata wedhi ‘pasir’ dan wedi ‘takut’; [a]
dan [ɔ], seperti pada kata piala ‘piala’ dan piala ’perbuatan buruk’.
c. Basjam
model kuis bahasa. Model kuis bahasa diterapkan untuk meningkatkan kemampuan
menyimak sumber tulis dan lisan dalam bahasa daerah. Basjam model kuis bahasa
terwujud dalam tiga strategi, yaitu (1) kuis berita, (2) mengubah lagu, dan (3)
cerdas tangkas (wastra basa). Peranti yang diperlukan berupa (a) fotokopi teks
berita atau CD berita jika strategi yang dipilih ialah kuis berita; (b) lagu
yang akan dijawakan jika yang dipilih ialah strategi mengubah lagu; dan (c)
papan skor, pengatur waktu, lembar pertanyaan, dan kertas padalarang jika yang
dipilih ialah strategi cerdas tangkas.
d. Basjam
olah aksara. Basjam model olah aksara diterapkan untuk tujuan meningkatkan
kemampuan siswa dalam menulis dan membaca aksara Jawa. Basjam model olah
aksara, secara mendasar, terwujud dalam tiga strategi secara berurutan, yaitu
(1) kartu aksara, (2) sanding aksara, dan (3) aksara ubahan. Peranti yang
diperlukan ialah kartu kertas padalarang ukuran sedang, misalnya 10 cm x 10 cm.
Satu kartu berisi satu aksara. Kartu aksara berfungsi mengenalkan jenis aksara
bahasa Jawa. Strategi kedua, sanding aksara, diwujudkan dengan menyandingkan
aksara Latin dan Jawa dari sekelompok kata sederhana dengan ciri (a) bersuku
terbuka dan (b) merupakan pasangan minimal. Penyandingan dilakukan secara lurus
dari atas ke bawah. Penyandingan dimaksudkan untuk lebih mengenalkan
kekontrasan bentuk aksara Latin dan Jawa. Strategi terakhir, yaitu aksara
ubahan. Strategi aksara ubahan dilakukan untuk mengenalkan adanya perubahan
bentuk aksara Jawa yang disebabkan oleh (a) kekhasan distribusi; (b) hadirnya
fonem asing (aksara rekan), misal /f atau q/; dan (c) adanya huruf kapital
(aksara murda).
Tidak kalah menarik dengan model basjam
ialah model pembelajaran bahasa Bugis berbasis siri na pesse yang ditawarkan
oleh Saleh (2012). Model itu bertujuan menanamkan empat pilar nilai luhur siri
na pesse yang disandingkan dengan tujuh komponen utama pembelajaran
kontekstual. Empat pilar siri na pesse itu meliputi lempu ‘jujur’, acca
‘cerdas’, warani ‘berani’, dan mappesonari Dewata seuwa ’tawakal’. Adapun
tujuh komponen pembelajaran kontekstual itu ialah constructivism, inqury,
questioning, modelling, learning community, reflection, dan authentic
assessment.
Penyandingan nilai luhur siri na pesse
dengan tujuh komponen pembelajaran kontekstual diwujudkan dalam bentuk
permainan tradisional. Tujuannya agar pembelajaran menyenangkan dan siswa
kembali akrab dengan permainan tradisional. Dalam pelaksanaannya, nilai siri na
pesse yang akan ditanamkan dan komponen pembelajaran kontekstual yang akan
diterapkan harus disesuaikan dengan jenis permainan yang dipilih, misalnya tentang penanaman sikap warani
’berani’ dan acca ‘cerdas’. Untuk menyesuaikan karakter warani dan acca, pilar
pendekatan kontekstual yang cocok digunakan ialah cooperative learning. Jenis
permainannya dipilih tudang sipulung yang memang memeluangi terjadinya diskusi.
Dengan strategi itu, nilai warani dan acca tecermin melalui keberanian dan
kemampuan siswa untuk menanggapi topik yang sudah disepakatkan. Prinsip
kooperatif terlatihkan melalui kebijakan siswa dalam memanfaatkan kartu sebagai
jatah untuk berbicara.
Seperti halnya model basjam, model
pembelajaran berbasis siri na pesse juga mengaktifkan siswa di samping
mengaktivasi otak kanan. Aktivasi terjadi sesuai dengan terciptanya suasana yang
menyenangkan dan kesadaran untuk bersyukur. Bersyukur karena memiliki kartu hak
bicara berarti juga sebagai pembatasan untuk berbicara.
Dalam kaitan dengan pemelajaran aksara
daerah, perlu disosialisasikan pula metode baru, metode yang telah dilakukan oleh
Baso (2012) patut dijadikan contoh. Keberhasilan Baso membuat prototipe true
type fonts lontara yang dinamai Lontara Yusring serta mengintegrasikannya ke
program multimedia interaktif merupakan sebuah lompatan yang panjang.
Keberhasilan itu jelas merupakan penyederhanaan atas kerumitan pembelajaran
aksara lontara karena keasingan siswa akan bentuk hurufnya. Dengan aplikasi
Lontara Yusring, pengguna tidak perlu lagi menghafal dan menggoreskan setiap
aksara, tetapi cukup dengan menekan tuts keyboard. Oleh sebab itu, menulis
dalam aksara lontara tidak lagi berbeda dengan menulis dalam aksara Latin.
Selain itu, Lontara Yusring juga dapat diintegrasikan pada program interaktif
apa pun sejauh berbasis http. Dengan demikian, masyarakat Bugis dapat
berinteraksi melalui internet dengan aksara lontara, baik melalui facebook,
twitter, maupun model interaktif yang lain. Media tersebut merupakan media yang
sangat diakrabi generasi muda. “Kedekatan” yang seperti itu diharapkan akan
mengakrabkan dan mengembalikan kebanggaan generasi muda akan aksara daerah,
khususnya lontara.
2.
Upaya
Pelestarian Bahasa Daerah
Upaya untuk melestarikan bahasa daerah,
mau tidak mau, tidak boleh meninggalkan generasi muda. Seperti ditegaskan
Salminen (Sugiyono, 2013), punah takpunahnya sebuah bahasa daerah berhubungan
dengan ada tidaknya generasi muda sebagai penerus tutur. Makin banyak generasi
muda akrab dengan bahasa daerahnya, bahasa itu dapat terselamatkan.
Membangun kesadaran generasi muda
sebagai ahli waris sekaligus pewaris bahasa daerah identik dengan membangun
kecintaan generasi muda pada bahasa daerahnya. Kecintaan itu berkorelasi dengan
menyenangkan tidaknya suasana pembelajaran. Dalam hubungan itu, model
pembelajaran hendaknya meminimalkan bentuk ceramah supaya tidak membosankan. Model
yang dipilih hendaknya mengedepankan model yang dapat melibatkan siswa sebanyak
dan seaktif mungkin. Pembelajaran model basjam dan model berbasis siri na pesse
hanyalah sebuah kemungkinan. Penciptaan model lain yang disesuaikan dengan
kekhasan setiap daerah masih sangat diperlukan. Apa pun bentuk modelnya, model
itu harus dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Selain bahasa, yang juga perlu
dilestarikan ialah keberadaan aksara daerah. Pelestarian aksara itu hendaknya
mempertimbangkan kemajuan teknologi, khususnya pemanfaatan multimedia. Dalam
kaitan itu, keberhasilan penciptaan Lontara Yusring yang berbasis http perlu
ditiru oleh daerah lain yang juga memiliki aksara daerah. Ketermungkinan
generasi muda untuk berinteraksi melalui internet dengan aksara daerah
sepertinya dapat dianggap pintu baru untuk kembali mencintakan generasi muda
pada aksara daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar