Rabu, 28 Desember 2016

Model Pembelajaran dan Pelestarian Bahasa Daerah



Menumbuhkan kembali rasa cinta generasi muda terhadap bahasa daerah, salah satunya dilakukan dengan mengajarkannya di lembaga pendidikan formal. Pada beberapa bahasa daerah, hal itu sudah lama dilakukan. Misalnya, sejak tahun ajar 2005/2006, bahasa Jawa wajib diajarkan di SLTA. Dengan demikian, jenjang pembelajarannya lengkap dari SD sampai dengan SLTA. Senada dengan itu ialah sikap masyarakat Sulawesi Selatan. Namun, seperti terjadi pada bahasa Jawa, model pembelajaran itu mungkin juga cenderung dalam bentuk ceramah sehingga membosankan siswa.

1.    Model Pembelajaran Bahasa Daerah
Dalam kaitan dengan model pembelajaran dalam bentuk ceramah yang dianggap membosankan siswa, model pembelajaran yang sifatnya nonceramah tentu menjadi menarik. model pembelajaran bahasa Jawa yang didasarkan pada pendekatan komunikatif. Strategi pembelajarannya berciri (1) semipermainan untuk meningkatkan motivasi intrinsik siswa, (2) didominasi bentuk praktik untuk mengaktifkan siswa, dan (3) menempatkan siswa sebagai pusat (Zuchdi, 1994: 11 dan Tim Penyusun Buku Pedoman Pengajaran Bahasa Jawa untuk Siswa SMA, 2010: 24—25).
Model pembelajaran itu diakronimkan dengan basjam, yaitu bahasa Jawa yang menyenangkan di antaranya sebahgai berikut :
a.  Basjam model bermain kata. Model itu diterapkan untuk tujuan meningkatkan penguasaan kosakata siswa, baik ngoko maupun krama. Basjam model bermain kata terwujud dalam dua strategi, yaitu (1) teka-teki silang (TTS) dan (2) skrebel. Peranti yang diperlukan ialah lembar TTS atau lembar skrebel.
b. Basjam model bermain peran. Model itu diterapkan untuk meningkatkan penguasaan kosakata, penguasaan gramatika, kemampuan bicara, dan kemampuan mengapresiasi sastra. Basjam model bermain peran terwujud dalam dua strategi, yaitu (1) bermain sandiwara dan (2) berbicara monolog dalam forum resmi dan tidak resmi. Peranti yang diperlukan ialah (penggalan) naskah sandiwara atau teks monolog. Basjam model bermain peran sangat cocok untuk melatih kemampuan aksen berbahasa daerah sebagai salah satu kekhasan sebuah bahasa. Pelatihan aksen itu menjadi penting mengingat banyak generasi muda yang sudah kehilangan aksen bahasa ibu. Pada generasi muda Jawa misalnya, kerancuan aksen terlihat pada ketakpekaan untuk, setidaknya, membedakan lafal [ṭ] dan [t], seperti pada kata sotho ‘pukul’ dan soto ‘soto’; [ḍ] dan [d], seperti pada kata wedhi ‘pasir’ dan wedi ‘takut’; [a] dan [ɔ], seperti pada kata piala ‘piala’ dan piala ’perbuatan buruk’.
c.    Basjam model kuis bahasa. Model kuis bahasa diterapkan untuk meningkatkan kemampuan menyimak sumber tulis dan lisan dalam bahasa daerah. Basjam model kuis bahasa terwujud dalam tiga strategi, yaitu (1) kuis berita, (2) mengubah lagu, dan (3) cerdas tangkas (wastra basa). Peranti yang diperlukan berupa (a) fotokopi teks berita atau CD berita jika strategi yang dipilih ialah kuis berita; (b) lagu yang akan dijawakan jika yang dipilih ialah strategi mengubah lagu; dan (c) papan skor, pengatur waktu, lembar pertanyaan, dan kertas padalarang jika yang dipilih ialah strategi cerdas tangkas.
d. Basjam olah aksara. Basjam model olah aksara diterapkan untuk tujuan meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis dan membaca aksara Jawa. Basjam model olah aksara, secara mendasar, terwujud dalam tiga strategi secara berurutan, yaitu (1) kartu aksara, (2) sanding aksara, dan (3) aksara ubahan. Peranti yang diperlukan ialah kartu kertas padalarang ukuran sedang, misalnya 10 cm x 10 cm. Satu kartu berisi satu aksara. Kartu aksara berfungsi mengenalkan jenis aksara bahasa Jawa. Strategi kedua, sanding aksara, diwujudkan dengan menyandingkan aksara Latin dan Jawa dari sekelompok kata sederhana dengan ciri (a) bersuku terbuka dan (b) merupakan pasangan minimal. Penyandingan dilakukan secara lurus dari atas ke bawah. Penyandingan dimaksudkan untuk lebih mengenalkan kekontrasan bentuk aksara Latin dan Jawa. Strategi terakhir, yaitu aksara ubahan. Strategi aksara ubahan dilakukan untuk mengenalkan adanya perubahan bentuk aksara Jawa yang disebabkan oleh (a) kekhasan distribusi; (b) hadirnya fonem asing (aksara rekan), misal /f atau q/; dan (c) adanya huruf kapital (aksara murda). 
    Tidak kalah menarik dengan model basjam ialah model pembelajaran bahasa Bugis berbasis siri na pesse yang ditawarkan oleh Saleh (2012). Model itu bertujuan menanamkan empat pilar nilai luhur siri na pesse yang disandingkan dengan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual. Empat pilar siri na pesse itu meliputi lempu ‘jujur’, acca ‘cerdas’, warani ‘berani’, dan mappesonari Dewata seuwa ’tawakal’. Adapun tujuh komponen pembelajaran kontekstual itu ialah constructivism, inqury, questioning, modelling, learning community, reflection, dan authentic assessment.
      Penyandingan nilai luhur siri na pesse dengan tujuh komponen pembelajaran kontekstual diwujudkan dalam bentuk permainan tradisional. Tujuannya agar pembelajaran menyenangkan dan siswa kembali akrab dengan permainan tradisional. Dalam pelaksanaannya, nilai siri na pesse yang akan ditanamkan dan komponen pembelajaran kontekstual yang akan diterapkan harus disesuaikan dengan jenis permainan yang dipilih,  misalnya tentang penanaman sikap warani ’berani’ dan acca ‘cerdas’. Untuk menyesuaikan karakter warani dan acca, pilar pendekatan kontekstual yang cocok digunakan ialah cooperative learning. Jenis permainannya dipilih tudang sipulung yang memang memeluangi terjadinya diskusi. Dengan strategi itu, nilai warani dan acca tecermin melalui keberanian dan kemampuan siswa untuk menanggapi topik yang sudah disepakatkan. Prinsip kooperatif terlatihkan melalui kebijakan siswa dalam memanfaatkan kartu sebagai jatah untuk berbicara.
Seperti halnya model basjam, model pembelajaran berbasis siri na pesse juga mengaktifkan siswa di samping mengaktivasi otak kanan. Aktivasi terjadi sesuai dengan terciptanya suasana yang menyenangkan dan kesadaran untuk bersyukur. Bersyukur karena memiliki kartu hak bicara berarti juga sebagai pembatasan untuk berbicara.
Dalam kaitan dengan pemelajaran aksara daerah, perlu disosialisasikan pula metode baru, metode yang telah dilakukan oleh Baso (2012) patut dijadikan contoh. Keberhasilan Baso membuat prototipe true type fonts lontara yang dinamai Lontara Yusring serta mengintegrasikannya ke program multimedia interaktif merupakan sebuah lompatan yang panjang. Keberhasilan itu jelas merupakan penyederhanaan atas kerumitan pembelajaran aksara lontara karena keasingan siswa akan bentuk hurufnya. Dengan aplikasi Lontara Yusring, pengguna tidak perlu lagi menghafal dan menggoreskan setiap aksara, tetapi cukup dengan menekan tuts keyboard. Oleh sebab itu, menulis dalam aksara lontara tidak lagi berbeda dengan menulis dalam aksara Latin. Selain itu, Lontara Yusring juga dapat diintegrasikan pada program interaktif apa pun sejauh berbasis http. Dengan demikian, masyarakat Bugis dapat berinteraksi melalui internet dengan aksara lontara, baik melalui facebook, twitter, maupun model interaktif yang lain. Media tersebut merupakan media yang sangat diakrabi generasi muda. “Kedekatan” yang seperti itu diharapkan akan mengakrabkan dan mengembalikan kebanggaan generasi muda akan aksara daerah, khususnya lontara.
2.    Upaya Pelestarian Bahasa Daerah
Upaya untuk melestarikan bahasa daerah, mau tidak mau, tidak boleh meninggalkan generasi muda. Seperti ditegaskan Salminen (Sugiyono, 2013), punah takpunahnya sebuah bahasa daerah berhubungan dengan ada tidaknya generasi muda sebagai penerus tutur. Makin banyak generasi muda akrab dengan bahasa daerahnya, bahasa itu dapat terselamatkan.
Membangun kesadaran generasi muda sebagai ahli waris sekaligus pewaris bahasa daerah identik dengan membangun kecintaan generasi muda pada bahasa daerahnya. Kecintaan itu berkorelasi dengan menyenangkan tidaknya suasana pembelajaran. Dalam hubungan itu, model pembelajaran hendaknya meminimalkan bentuk ceramah supaya tidak membosankan. Model yang dipilih hendaknya mengedepankan model yang dapat melibatkan siswa sebanyak dan seaktif mungkin. Pembelajaran model basjam dan model berbasis siri na pesse hanyalah sebuah kemungkinan. Penciptaan model lain yang disesuaikan dengan kekhasan setiap daerah masih sangat diperlukan. Apa pun bentuk modelnya, model itu harus dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Selain bahasa, yang juga perlu dilestarikan ialah keberadaan aksara daerah. Pelestarian aksara itu hendaknya mempertimbangkan kemajuan teknologi, khususnya pemanfaatan multimedia. Dalam kaitan itu, keberhasilan penciptaan Lontara Yusring yang berbasis http perlu ditiru oleh daerah lain yang juga memiliki aksara daerah. Ketermungkinan generasi muda untuk berinteraksi melalui internet dengan aksara daerah sepertinya dapat dianggap pintu baru untuk kembali mencintakan generasi muda pada aksara daerah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar