A. Filosofi Manusia
Filosofi manusia
terdiri dari dua kata yaitu filosofi dan manusia. Filosofi secara etimologi
istilah filosofi atau filsafat merupakan padanan kata falsafah (bahasa
Arab) dan philosophy (bahasa Inggris), yang berasal dari bahasa Yunani
philosophia. Kata philosophia adalah kata majemuk yang
terdiri dari dua kata, philos dan sophia. Kata philos
berarti cinta (love) atau sahabat, dan shopia
berarti kebijaksanaan (wisdom), kearifan dan pengetahuan.
Sehingga secara etimologi filsafat berarti “love of wisdom”
atau cinta kebijaksanaan, cinta kearifan, cinta pengetahuan, atau sahabat
kebijaksanaan, sahabat kearifan dan sahabat pengetahuan. Sedangkan menurut
terminologi terdapat beberapa definisi, antara lain:
1. Aristoteles
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyabab dari realitas
yang ada.
2. Rene descartes
Filsafat adalah himpunan dari segala
pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam, dan
manusia.
3. William james
Filsafat adalah suatu upaya yang luar
biasa hebat untuk berfikir yang jelas dan terang.
4. R.F. beerling
Filsafat adalah mempertanyakan tentang
seluruh kenyataan atau tentang hakikat, asas, prinsip dan kenyataan. Beerling
juga mengatakan bahwa filsafat adalah usaha untuk mencapai akar terdalam
kenyataan dunia wujud, juga akar terdalam pengetahuan tentang diri sendiri.
5. Louis O. Kattsoff
Filsafat merupakan suatu analisis secara
hati-hati terhadap penalaran-penalaran mengenai suatu masalah, dan penyusunan
secara sengaja serta sistematis suatu sudut pandang yang menjadi dasar suatu
tindakan.
Dari serangkaian
definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa filolofi manusia adalah
proses berfikir secara radikal, sistematik, dan universal terhadap manusia itu
sendiri. Dengan kata lain filosofi manusia adalah berfikir secara radikal
(mendasar, dalam, sampai keakar-akarnya tentang manusia), sistematik (teratur,
runtut, logis, dan tidak serampangan) untuk mencapai kebenaran universal (umum,
terintegral, dan tidak khusus tidak parsial).
Berbicara mengenai apa
manusia itu, ada empat aliran yaitu aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran
dualisme, dan aliran eksistensialisme.
a. Aliran serba zat mengatakan bahwa yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau
materi. Zat atau materi itulah hakikat dari sesuatu. Alam ini adalah zat atau
materi dan manusia adalah unsur dari alam. Maka dari itu hakikat dari manusia
itu adalah zat atau materi.
Manusia sebagai makhluk materi, maka pertumbuhannya berproses dari
materi juga. Sel telur dari sang ibu bergabung dengan sperma dari sang ayah,
tumbuh menjadi janin, yang akhirnya kedunia sebagai manusia. Adapun apa yang
disebut ruh atau jiwa, pikiran perasaan (tanggapan, kemauan, kesadaran,
ingatan, khayalan, asosiasi, penghayatan, dan sebagainya) dari zat atau materi
yaitu sel-sel tubuh. Oleh karena itu manusia sebagai materi, maka
keperluan-keperluannya juga bersifat materi, ia mendapatkan kebahagiaan,
kesenangan, dan sebagainya juga dari materi, maka terbentuklah suatu sikap atau
pandangan yang materialistis. Oleh karena materi itu adanya di dunia ini, maka
pandangan materialistis itu identik dengan pandangan hidup yang bersifat
duniawi, sedangkan hal-hal yang bersifat ukhrawi (akhirat) dianggap sebagai
khayalan belaka.
Di antara tokoh aliran ini adalah Anaximenes (585-525 SM),
Anaximandros (610-545 SM), Thales (625-545 SM), Thomas Hobbes (1588-1679 M),
Lamettrie (1709-1715 M), Feuerbach (1804-1877 M), Spencer (1820-1903 M), dan
Karl Marx (1818-1883 M).
b. Aliran serba ruh berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ialah
“ruh”. Juga hakikat manusia adalah ruh. Adapun zat itu adalah manifestasi dari
pada ruh di dunia ini. Ruh adalah sesuatu yang tidak menempati ruang, sehingga
tak dapat disentuh atau dilihat oleh panca indra. Jadi berlawanan dengan zat
yang menempati ruang betapapun kecilnya zat itu.
Istilah-istilah lain dari ruh yang artinya hampir sama ialah jiwa,
sukma, nyawa, semangat dan sebagainya. Materi adalah penjelmaan ruh. Fichte
berkata “bahwa segala sesuatu yang lain (selain dari ruh) yang rupanya ada dan
hidup hanyalah suatu jenis, perupaan, perubahan atau penjelmaan dari pada ruh”.
Dasar pikiran dari aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi
nilainya dari pada materi. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dalam kehidupan
sehari-hari.misalnya seorang wanita atau seorang pria yang kita cintai, kita
tak mau pisah dengannya. Tetapi kalau ruh dari wanita atau pria yang kita
cintai tadi tidak ada pada badannya, berarti dia meninggal dunia, mau tidak mau
kita harus melepaskan dia untuk dikuburkan. Kecantikan, kejelitaan, kemolekan,
kebagusan yang dimiliki oleh wanita atau pria tadi tak akan ada artinya tanpa
ruh meskipun badannya masih utuh, masih lengkap anggota badannya, tetapi kita
mengatakan “dia sudah tidak ada, dia sudah pergi, dia sudah menghadap
tuhannya”. Demikian aliran ini menganggap bahwa ruh itu ialah hakikat, sedang
badan adalah penjelmaan atau bayangannya saja.
c. Aliran dualisme mencoba untuk mengawinkan kedua aliran tersebut di atas. Aliran
ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi
yaitu jasmani dan rohani, badan dan ruh. Kedua substansi ini masing-masing
merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan
tidak berasal dari ruh juga sebaliknya ruh tidak berasal dari badan. Hanya
dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad dan ruh, yang keduanya
berintegrasi membentuk yang disebut manusia. Antara badan dan ruh terjalin
hubungan yang bersifat kausal, sebab akibat. Artinya antara keduanya saling
pengaruh mempengaruhi. Sebagai contoh, orang cacat jasmaninya akan berpengaruh
pada perkembangan jiwanya. Sebaliknya orang yang jiwanya kacau atau cacat, akan
berpengaruh pada fisiknya.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain adalah Plato (427-347 SM)
Aristoteles (384-322 SM), Descartes (1596-1650 M), Fechner (1802-1887 M),
Arnold Gealinex, Leukippos, Anaxagoras, Hc. Daugall dan A. Schopenhauer
(1788-1860 M). Ahli-ahli filsafat modern
dengan tekun berfikir lebih lanjut tentang hakikat manusia mana yang merupakan
eksistensi atau wujud sesungguhnya dari manusia itu, mereka yang memikirkan
bagaimana eksistensi manusia atau wujud disebut kaum eksistensialis dan
alirannya disebut aliran eksistensialisme.
d. Aliran Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia. Para pengamat
eksistensialisme tidak mempersoalkan esensia dari segala yang ada. Karena
memang sudah ada dan tak ada persoalan. Kursi adalah kursi. Pohon mangga adalah
pohon mangga. Harimau adalah harimau. Manusia adalah manusia. Namun, mereka
mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada dan untuk apa berada. Oleh
karena itu, mereka menyibukkan diri dengan pemikiran tentang eksistensia.
Dengan mencari cara berada dan eksis yang sesuai, esensia pun akan
ikut terpengaruhi. Dengan pengolahan eksistensia secara tepat, segala yang ada
bukan hanya berada, tetapi berada dalam keadaan optimal. Untuk manusia, ini
berarti bahwa dia tidak sekedar berada dan eksis, tetapi berada dan eksis dalam
kondisi ideal sesuai dengan kemungkinan yang dapat dicapai.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Immanuel Kant, Jean-Paul Sartre, S.
Kierkegaard (1813-1855 M), Friedrich Niezsche (1844-1900 M), Karl Jaspers
(1883-1969 M), Martin Heidegger (1889-1976 M), Gabriel Marcel (1889-1973 M),
Ren Le Senne dan M. Merleau-Ponty (1908-1961 M). Penjelasan yang terbaik
tentang hakikat manusia ialah penjelasan dari pencipta manusia itu sendiri.
Penjelasan oleh rasio manusia mempunyai kelemahan karena akal itu terbatas
kemampuannya. Bukti terbaik tentang keterbatasan akal ialah akal itu tidak
mengetahui apa akal itu sebenarnya.
Sumber: Suparlan
Suhartono. 2007. Filsafat Pendidikan.
Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar- Ruzz Media. Hal 44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar