Senin, 26 Desember 2016

Filosofi Manusia



A.  Filosofi Manusia
Filosofi manusia terdiri dari dua kata yaitu filosofi dan manusia. Filosofi secara etimologi istilah filosofi atau filsafat merupakan padanan kata falsafah (bahasa Arab) dan philosophy (bahasa Inggris), yang berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata, philos dan sophia. Kata philos berarti cinta (love) atau sahabat, dan shopia berarti kebijaksanaan (wisdom), kearifan dan pengetahuan. Sehingga secara etimologi filsafat berarti “love of wisdom” atau cinta kebijaksanaan, cinta kearifan, cinta pengetahuan, atau sahabat kebijaksanaan, sahabat kearifan dan sahabat pengetahuan. Sedangkan menurut terminologi terdapat beberapa definisi, antara lain:
1.    Aristoteles
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyabab dari realitas yang ada.
            2.    Rene descartes
Filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam, dan manusia.
            3.    William james
Filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berfikir yang jelas dan terang.
            4.    R.F. beerling
Filsafat adalah mempertanyakan tentang seluruh kenyataan atau tentang hakikat, asas, prinsip dan kenyataan. Beerling juga mengatakan bahwa filsafat adalah usaha untuk mencapai akar terdalam kenyataan dunia wujud, juga akar terdalam pengetahuan tentang diri sendiri.
            5.    Louis O. Kattsoff
Filsafat merupakan suatu analisis secara hati-hati terhadap penalaran-penalaran mengenai suatu masalah, dan penyusunan secara sengaja serta sistematis suatu sudut pandang yang menjadi dasar suatu tindakan. 
Dari serangkaian definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan  bahwa filolofi manusia adalah proses berfikir secara radikal, sistematik, dan universal terhadap manusia itu sendiri. Dengan kata lain filosofi manusia adalah berfikir secara radikal (mendasar, dalam, sampai keakar-akarnya tentang manusia), sistematik (teratur, runtut, logis, dan tidak serampangan) untuk mencapai kebenaran universal (umum, terintegral, dan tidak khusus tidak parsial).
Berbicara mengenai apa manusia itu, ada empat aliran yaitu aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, dan aliran eksistensialisme.
a.  Aliran serba zat mengatakan bahwa yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau materi. Zat atau materi itulah hakikat dari sesuatu. Alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam. Maka dari itu hakikat dari manusia itu adalah zat atau materi.
Manusia sebagai makhluk materi, maka pertumbuhannya berproses dari materi juga. Sel telur dari sang ibu bergabung dengan sperma dari sang ayah, tumbuh menjadi janin, yang akhirnya kedunia sebagai manusia. Adapun apa yang disebut ruh atau jiwa, pikiran perasaan (tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan, khayalan, asosiasi, penghayatan, dan sebagainya) dari zat atau materi yaitu sel-sel tubuh. Oleh karena itu manusia sebagai materi, maka keperluan-keperluannya juga bersifat materi, ia mendapatkan kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya juga dari materi, maka terbentuklah suatu sikap atau pandangan yang materialistis. Oleh karena materi itu adanya di dunia ini, maka pandangan materialistis itu identik dengan pandangan hidup yang bersifat duniawi, sedangkan hal-hal yang bersifat ukhrawi (akhirat) dianggap sebagai khayalan belaka.
Di antara tokoh aliran ini adalah Anaximenes (585-525 SM), Anaximandros (610-545 SM), Thales (625-545 SM), Thomas Hobbes (1588-1679 M), Lamettrie (1709-1715 M), Feuerbach (1804-1877 M), Spencer (1820-1903 M), dan Karl Marx (1818-1883 M).
b.   Aliran serba ruh berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ialah “ruh”. Juga hakikat manusia adalah ruh. Adapun zat itu adalah manifestasi dari pada ruh di dunia ini. Ruh adalah sesuatu yang tidak menempati ruang, sehingga tak dapat disentuh atau dilihat oleh panca indra. Jadi berlawanan dengan zat yang menempati ruang betapapun kecilnya zat itu.
Istilah-istilah lain dari ruh yang artinya hampir sama ialah jiwa, sukma, nyawa, semangat dan sebagainya. Materi adalah penjelmaan ruh. Fichte berkata “bahwa segala sesuatu yang lain (selain dari ruh) yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis, perupaan, perubahan atau penjelmaan dari pada ruh”. Dasar pikiran dari aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya dari pada materi. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dalam kehidupan sehari-hari.misalnya seorang wanita atau seorang pria yang kita cintai, kita tak mau pisah dengannya. Tetapi kalau ruh dari wanita atau pria yang kita cintai tadi tidak ada pada badannya, berarti dia meninggal dunia, mau tidak mau kita harus melepaskan dia untuk dikuburkan. Kecantikan, kejelitaan, kemolekan, kebagusan yang dimiliki oleh wanita atau pria tadi tak akan ada artinya tanpa ruh meskipun badannya masih utuh, masih lengkap anggota badannya, tetapi kita mengatakan “dia sudah tidak ada, dia sudah pergi, dia sudah menghadap tuhannya”. Demikian aliran ini menganggap bahwa ruh itu ialah hakikat, sedang badan adalah penjelmaan atau bayangannya saja.
c. Aliran dualisme mencoba untuk mengawinkan kedua aliran tersebut di atas. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani, badan dan ruh. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh juga sebaliknya ruh tidak berasal dari badan. Hanya dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad dan ruh, yang keduanya berintegrasi membentuk yang disebut manusia. Antara badan dan ruh terjalin hubungan yang bersifat kausal, sebab akibat. Artinya antara keduanya saling pengaruh mempengaruhi. Sebagai contoh, orang cacat jasmaninya akan berpengaruh pada perkembangan jiwanya. Sebaliknya orang yang jiwanya kacau atau cacat, akan berpengaruh pada fisiknya.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain adalah Plato (427-347 SM) Aristoteles (384-322 SM), Descartes (1596-1650 M), Fechner (1802-1887 M), Arnold Gealinex, Leukippos, Anaxagoras, Hc. Daugall dan A. Schopenhauer (1788-1860 M).  Ahli-ahli filsafat modern dengan tekun berfikir lebih lanjut tentang hakikat manusia mana yang merupakan eksistensi atau wujud sesungguhnya dari manusia itu, mereka yang memikirkan bagaimana eksistensi manusia atau wujud disebut kaum eksistensialis dan alirannya disebut aliran eksistensialisme.
d.    Aliran Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia. Para pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan esensia dari segala yang ada. Karena memang sudah ada dan tak ada persoalan. Kursi adalah kursi. Pohon mangga adalah pohon mangga. Harimau adalah harimau. Manusia adalah manusia. Namun, mereka mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada dan untuk apa berada. Oleh karena itu, mereka menyibukkan diri dengan pemikiran tentang eksistensia. Dengan mencari  cara berada  dan eksis yang sesuai, esensia pun akan ikut terpengaruhi. Dengan pengolahan eksistensia secara tepat, segala yang ada bukan hanya berada, tetapi berada dalam keadaan optimal. Untuk manusia, ini berarti bahwa dia tidak sekedar berada dan eksis, tetapi berada dan eksis dalam kondisi ideal sesuai dengan kemungkinan yang dapat dicapai.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Immanuel Kant, Jean-Paul Sartre, S. Kierkegaard (1813-1855 M), Friedrich Niezsche (1844-1900 M), Karl Jaspers (1883-1969 M), Martin Heidegger (1889-1976 M), Gabriel Marcel (1889-1973 M), Ren Le Senne dan M. Merleau-Ponty (1908-1961 M). Penjelasan yang terbaik tentang hakikat manusia ialah penjelasan dari pencipta manusia itu sendiri. Penjelasan oleh rasio manusia mempunyai kelemahan karena akal itu terbatas kemampuannya. Bukti terbaik tentang keterbatasan akal ialah akal itu tidak mengetahui apa akal itu sebenarnya.

Sumber: Suparlan Suhartono. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar- Ruzz Media. Hal 44
                             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar