Positivisme merupakan suatu aliran
filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu
alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan
menolak spekuliasi dari suatu
filosofis atau metafisik.
Dapat pula dikatakan positivisme
ialah “aliran yang bependirian bahwa filsafat
itu hendaknya semata-mata
mengenai dan berpangkal pada peristiwa-peristiwa positif”.
Jadi, dapat dikatakan titik tolak pemikirannya, apa
yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika
ditolaknya, karena positif adalah dalam artian segala gejala dan segala yang
tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif bukannya
metafisika yang merupakan ilmu pengetahuan yg berhubungan dengan hal-hal yg
nonfisik atau tidak kelihatan. Aliran ini menurut Atang Abdul Hakim mirip
dengan aliran empirisme, namun tidak menyetujui pendapat John Locke yang masih
mengakui pentingnya jiwa dalam mengolah apa yang ditangkap indra. Bagi
positivisme hakikat sesuatu adalah benar-benar pengalaman indra, tidak ada
campur tangan yang bersifat batiniah.
Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang
menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan
menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal
adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris. Karena aliran ini
lahir sebagai penyeimbang pertentangan yang terjadi antara aliran empirisme dan
aliran rasionalisme. Aliran positivisme ini lahir berusaha menyempurnakan
aliran empirisme dan rasionalisme, dengan cara memasukkan perlunya eksperimen
dan ukuran-ukuran.
Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh
Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan
pertama kali oleh seorang filosof berkebangsaan Inggris yang bernama Francis
Bacon yang hidup di sekitar abad ke-17. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra
asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik
kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas
hukum alam.
Barulah pada paruh kedua abad ke-19 muncullah Auguste
Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang
dilahirkan di Montpellier pada tahun 1798 dari keluarga pegawai negeri
yang beragama Katolik. Comte menggunakan istilah ini
kemudian mematoknya secara sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan
agama dan filsafat dalam karya utamanya yang berjudul Course de Philosophie Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif
(1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid. Melalui tulisan dan
pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan
perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia
beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif.
Pada fase teologis (tahapan agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa
adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini.
Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme,
politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena
yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan.
Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa adikodrati tersebut
telah digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’.
Pada fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman
metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi.
Dan akhirnya pada masa positif (tahap positivisme) manusia telah membatasi diri
pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar
observasi dan kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk
tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris
dalam menyingkapi fenomena-fenomena.
Sumber:
Soegiono dan Tamsil Muis. 2012. Filsafat Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 39.