Filsafat sebagai ilmu pengetahuan pada umumnya membantu manusia dalam
mengorientasikan diri dalam dunia. Akan tetapi, ilmu-ilmu tersebut secara
hakiki terbatas sifatnya. Untuk menghasilkan pengetahuan yang setepat mungkin,
semua ilmu membatasi diri pada tujuan atau bidang tertentu. Dengan demikian
ilmu-ilmu khusus tidak menggarap pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut manusia
sebagai keseluruhan, sebagai suatu kesatuan yang dinamis. Dalam hal ini,
peranan filsafat terhadap semua disiplin ilmu termasuk psikologi, hanya sebagai
penggagas dan peletak dasar, dan selanjutnya ilmu-ilmu itulah yang berkembang
sesuai dengan objek kajianya masing-masing.
K. Bertens memberikan lima hal yang menyangkut peranan dari filsafat bagi perkembangan
ilmu-ilmu yang lain :
1. Filsafat
dapat menyumbang untuk memperlancar integrasi antara ilmu-ilmu yang sangat
dibutuhkan, yang disinyalir kecondongan ilmu pengetahuan untuk berkembang ke
arah spesialisasi yang akhirnya menimbulkan kebuntuan. Tetapi pada filsafat
tidak ada spesialisasi khusus, filsafat bertugas untuk memperhatikan
keseluruhan dan tidak berhenti pada detail-detailnya.
2. Filsafat
dapat membantu dalam membedakan antara ilmu pengetahuan dan scientisme.
Dengan scientisme dimaksudkan pendirian yang tidak mengakui kebenaran
lain daripada kebenaran yang disingkapkan oleh ilmu pengetahuan dan tidak
menerima cara pengenalan lain daripada cara pengenalan yang dijalankan oleh
ilmu pengetahuan, dengan demikian ilmu pengetahuan melewati batas-batasnya dan
menjadi suatu filsafat.
3. Tidak dapat
disangkal bahwa hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan lebih erat
dalam bidang pengetahuan manusia daripada bidang ilmu pengetahuan alam.
4. Salah satu
cabang filsafat yang tumbuh subur sekarang ini adalah apa yang disebut “foundational
research“ suatu penelitian kritis tentang metode-metode,
pengandaian-pengandaian dan hasil ilmu pengetahuan positif.
5. Peranan
filsafat dalam kerja sama interdisipliner pasti tidak dapat dibayangkan sebagai
semacam “pengetahuan absolut“.
Manusia sebagai makhluk hidup juga merupakan objek dari filsafat yang
antara lain membicarakan soal hakikat kodrat manusia, tujuan hidup manusia, dan
sebagainya. Sekalipun psikologi pada akhirnya memisahkan diri dari filsafat,
karena metode yang ditempuh sebagai salah satu sebabnya, tetapi psikologi masih
tetap mempunyai hubungan dengan filsafat. Bahkan sebetulnya dapat dikemukakan
bahwa ilmu-ilmu yang telah memisahkan diri dari filsafat itupun tetap masih ada
hubungan dengan filsafat terutama mengenai hal-hal yang menyangkut sifat hakikat dan tujuan dari ilmu pengetahuan. Seperti telah dikemukakan diatas,
psikologi mempunyai hubungan antara lain dengan biologi, sosiologi, filsafat,
ilmu pengetahuan, tetapi ini tidak berarti bahwa psikologi tidak mempunyai
hubungan dengan ilmu-ilmu lain diluar ilmu-ilmu tersebut. Justru karena
psikologi memilki mempelajari manusia sebagai makhluk bersegi banyak, makhluk
yang bersifat kompleks maka psikologi harus bekerjasama dengan ilmu-ilmu lain.
Tetapi sebaliknya setiap cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan
manusia akan kurang sempurna bila tidak mengambil pelajaran dari psikologi.
Dengan demikian, akan terdapat hubungan yang timbal balik. Setelah psikologi berpisah dengan filsafat dan berdiri sendiri sebagai
sebuah cabang ilmu yang baru; nampaknya psikologi, melalui berbagai
penelitiannya berusaha memberikan gambaran bahwa psikologi mengikuti
aturan-aturan penelitian yang berlaku dengan menggunakan cara yang sistematik
dan metodologis sehingga hasil penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan secara
empirik.
Kebutuhan keilmiahan psikologi tersebut nampaknya baru terpecahkan ketika
Wilhelm Wundt (1832-1920) dan kawan-kawannya memulai menerapkan metode yang
baru dalam bidang psikologi eksperimen. Dalam laboratorium eksperimen pertama
yang didirikannya pada tahun 1879 di Universitas Leipzig (Jerman), Wundt
kemudian mulai melakukan serangkaian eksperimen untuk menguji fenomena-fenomena
yang dulunya merupakan bagian dari filsafat. Namun demikian, meskipun pengaruh filsafat bagi perkembangan ilmu
psikologi masih dapat dirasakan dalam setiap penelitian yang dihasilkan, hal
ini tentunya tidak terlepas dari bidang garapan yang lebih banyak mempunyai
kesamaan dengan filsafat itu sendiri. Dengan diakuinya psikologi sebagai ilmu
pengetahuan yang berusaha menempatkan metode penelitian yang sistematis dan
ilmiah, psikologi menunjukkan jati dirinya sebagai salah satu cabang ilmu yang
mampu menempatkan metode-metode ilmiah sebagai bagian dari penelitiannya.
Filsafat ilmu, sebagai salah satu cabang
filsafat, memberikan sumbangan besar bagi perkembangan ilmu psikologi. Filsafat
ilmu adalah cabang filsafat yang hendak merefleksikan konsep-konsep yang
diandaikan begitu saja oleh para ilmuwan, seperti konsep metode, obyektivitas, penarikan
kesimpulan, dan konsep standar kebenaran suatu pernyataan ilmiah. Hal ini
penting, supaya ilmuwan dapat semakin kritis terhadap pola kegiatan ilmiahnya
sendiri, dan mengembangkannya sesuai kebutuhan masyarakat. Psikolog sebagai
seorang ilmuwan tentunya juga memerlukan kemampuan berpikir yang ditawarkan
oleh filsafat ilmu ini. Tujuannya adalah, supaya para psikolog tetap sadar
bahwa ilmu pada dasarnya tidak pernah bisa mencapai kepastian mutlak, melainkan
hanya pada level probabilitas. Dengan begitu, para psikolog bisa menjadi
ilmuwan yang rendah hati, yang sadar betul akan batas-batas ilmunya, dan
terhindar dari sikap saintisme, yakni sikap memuja ilmu pengetahuan sebagai
satu-satunya sumber kebenaran.
Sebagai cabang ilmu, psikologi termasuk dalam ilmu-ilmu kemanusiaan,
khususnya ilmu-ilmu sosial. Ciri ilmu-ilmu kemanusiaan adalah memandang manusia
secara keseluruhan sebagai objek dan subjek ilmu. Ciri lainnya terletak pada
titik pandang dan kriterium kebenaran yang berbeda dari ilmu-ilmu alam. Ciri
lain lagi muncul sebagai akibat ciri tersebut yaitu bahwa antara subjek dan
objek ilmu -ilmu kemanusiaan terdapat proses saling mempengaruhi. Psikologi
sebagai bagian dari ilmu kemanusiaan juga memiki ciri-ciri tersebut .
Berhadapan dengan ilmu-ilmu itu salah satu tugas pokok filsafat ilmu adalah
menilai hasil ilmu-ilmu pemngetahuan dilihat dari sudut pandang pengetahuan
manusia seutuhnya. Ada dua bidang sehubungan dengan masalah pengetahuan yang
benar, yaitu (1) ikut menilai apa yang dianggap tepat atau benar dalam
ilmu-ilmu; (2) memberi penilaian terhadap sumbangan ilmu-ilmu pada perkembangan
manusia guna mencapai pengetahuan yang benar.
Dengan demikian, filsafat ilmu dapat berperan dalam menilai secara kritis apa yang dianggap sebagai pengetahuan yang
benar dalam ilmu psikologi. Sebagaimana telah diungkapkan, ilmu-ilmu mempunyai
sumbangan yang sangat besar bagi manusia. Sumbangan-sumbangan itu mendukung
peradaban manusia, karena itu patut dihargai. Namun demikian kadang terdapat
kelemahan yang perlu dicermati, yakni apabila para pelaku ilmu berpendapat
bahwa di luar ilmu-ilmu mereka tidak terdapat pengetahuan yang benar. Kelemahan
lainnya adanya anggapan tentang kebenaran dikemukakan secara eksplisit dengan
mengabaikan bidang filsafat yang dengan demikian sebenarnya sudah dimasuki oleh
para pelaku ilmu yang bersangkutan.
Filsafat itu mempertanyakan jawaban, sedangkan psikologi menjawab
pertanyaan (masalah). Jadi dengan berfilsafat, psikolog mendapatkan solusi dari permasalahan kliennya,
karena terus diberikan pertanyaan, kenapa, mengapa, alasannya apa, terus begitu
sampai akhirnya ada kesimpulan dari pertanyaan (dari permasalahan) itu. Ketika
seseorang sudah mampu mempertanyakan siapa dirinya, bagaimana dirinya
terbentuk, bagaimana posisi dirinya di alam semesta ini, itu berarti orang
tersebut sudah berfilsafat ke taraf yang paling tinggi. Untuk itu dibutuhkan
perenungan, karena apabila didiskusikan, bisa jadi orang lain menganggap kita
gila, karena itu adalah insight, dan tidak semua orang bisa mendapatkan insight.
Filsafat merupakan hasil akal
manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan
sedalam-dalamnya. Dalam penyelidikannya filsafat berangkat dari apa yang
dialami manusia. Ilmu psikologi menolong
filsafat dalam penelitiannya. Kesimpulan filsafat tentang kemanusiaan
akan ‘pincang’ dan jauh dari kebenaran jika tidak mempertimbangkan hasil
psikologi. Filsafat bisa menegaskan
akar historis ilmu psikologi. Seperti kita tahu, psikologi, dan semua
ilmu lainnya, merupakan pecahan dari filsafat. Di dalam filsafat, kita juga
bisa menemukan refleksi-refleksi yang cukup mendalam tentang konsep jiwa dan
perilaku manusia. Refleksi-refleksi semacam itu dapat ditemukan baik di dalam
teks-teks kuno filsafat, maupun teks-teks filsafat modern. Dengan mempelajari
ini, para psikolog akan semakin memahami akar historis dari ilmu mereka, serta
pergulatan-pergulatan macam apa yang terjadi di dalamnya. Saya pernah
menawarkan kuliah membaca teks-teks kuno Aristoteles dan Thomas Aquinas tentang
konsep jiwa dan manusia. Menurut saya, teks-teks kuno tersebut menawarkan sudut
pandang dan pemikiran baru yang berguna bagi perkembangan ilmu psikologi.
Filsafat juga memiliki cabang yang kiranya cukup penting bagi perkembangan
ilmu psikologi, yakni etika.
Yang dimaksud etika disini adalah ilmu tentang moral. Sementara, moral sendiri
berarti segala sesuatu yang terkait dengan baik dan buruk. Di dalam praktek
ilmiah, para ilmuwan membutuhkan etika sebagai panduan, sehingga penelitiannya
tidak melanggar nilai-nilai moral dasar, seperti kebebasan dan hak-hak asasi
manusia. Sebagai praktisi, seorang psikolog membutuhkan panduan etis di dalam
kerja-kerja mereka. Panduan etis ini biasanya diterjemahkan dalam bentuk kode
etik profesi psikologi. Etika, atau yang banyak dikenal sebagai filsafat moral,
hendak memberikan konsep berpikir yang jelas dan sistematis bagi kode etik
tersebut, sehingga bisa diterima secara masuk akal. Perkembangan ilmu, termasuk
psikologi, haruslah bergerak sejalan dengan perkembangan kesadaran etis para
ilmuwan dan praktisi. Jika tidak, ilmu akan menjadi penjajah manusia. Sesuatu
yang tentunya tidak kita inginkan.
Salah satu cabang filsafat yang kiranya sangat mempengaruhi psikologi
adalah eksistensialisme. Tokoh-tokohnya adalah Soren Kierkegaard, Friedrich
Nietzsche, Viktor Frankl, Jean-Paul Sartre, dan Rollo May. Eksistensialisme
sendiri adalah cabang filsafat yang merefleksikan manusia yang selalu
bereksistensi di dalam hidupnya. Jadi, manusia dipandang sebagai individu yang
terus menjadi, yang berproses mencari makna dan tujuan di dalam hidupnya.
Eksistensialisme merefleksikan problem-problem manusia sebagai individu,
seperti tentang makna, kecemasan, otentisitas, dan tujuan hidup. Dalam konteks
psikologi, eksistensialisme mengental menjadi pendekatan psikologi eksistensial, atau yang banyak
dikenal sebagai terapi eksistensial. Berbeda dengan behaviorisme, terapi
eksistensial memandang manusia sebagai subyek yang memiliki kesadaran dan
kebebasan. Jadi, terapinya pun disusun dengan berdasarkan pada pengandaian itu
Filsafat juga bisa mengangkat asumsi-asumsi yang terdapat di dalam ilmu
psikologi. Selain mengangkat asumsi, filsafat juga bisa berperan sebagai fungsi kritik terhadap asumsi tersebut.
Kritik disini bukan diartikan sebagai suatu kritik menghancurkan, tetapi sebagai
kritik konstruktif, supaya ilmu psikologi bisa berkembang ke arah yang lebih
manusiawi, dan semakin mampu memahami realitas kehidupan manusia. Asumsi itu
biasanya dibagi menjadi tiga, yakni asumsi antropologis, asumsi metafisis, dan
asumsi epistemologis. Filsafat dapat menjadi pisau analisis yang mampu
mengangkat sekaligus menjernihkan ketiga asumsi tersebut secara sistematis dan
rasional. Fungsi kritik terhadap asumsi ini penting, supaya ilmu psikologi bisa
tetap kritis terhadap dirinya sendiri, dan semakin berkembang ke arah yang
lebih manusiawi.
Dalam konteks perkembangan psikologi sosial, filsafat juga bisa memberikan
wacana maupun sudut pandang baru dalam bentuk refleksi teori-teori sosial kontemporer. Di dalam filsafat sosial,
yang merupakan salah satu cabang filsafat, para filsuf diperkaya dengan
berbagai cara memandang fenomena sosial-politik, seperti kekuasaan, massa,
masyarakat, negara, legitimasi, hukum, ekonomi, maupun budaya. Dengan
teori-teori yang membahas semua itu, filsafat sosial bisa memberikan sumbangan
yang besar bagi perkembangan psikologi sosial, sekaligus sebagai bentuk dialog
antar ilmu yang komprehensif. Terakhir, filsafat
bisa menawarkan cara berpikir yang radikal, sistematis, dan rasional terhadap
ilmu psikologi, bagi para psikolog, baik praktisi maupun akademisi, sehingga ilmu psikologi bisa menjelajah ke
lahan-lahan yang tadinya belum tersentuh. Dengan ilmu logika, yang merupakan salah satu cabang filsafat,
para psikolog dibekali kerangka berpikir yang kiranya sangat berguna di dalam
kerja-kerja mereka. Seluruh ilmu pengetahuan dibangun di atas dasar logika, dan
begitu pula psikologi. Metode pendekatan serta penarikan kesimpulan seluruhnya
didasarkan pada prinsip-prinsip logika. Dengan mempelajari logika secara
sistematis, para psikolog bisa mulai mengembangkan ilmu psikologi secara
sistematis, logis, dan rasional. Dalam hal ini, logika klasik dan logika
kontemporer dapat menjadi sumbangan cara berpikir yang besar bagi ilmu
psikologi.
Teori psikologi tradisional masih percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan
sebagai individu mutlak. Teori psikologi tradisional juga masih percaya, bahwa
manusia bisa diperlakukan sebagai obyek. Dengan cara berpikir yang terdapat di
dalam displin filsafat, ‘kepercayaan-kepercayaan’ teori psikologi tradisional
tersebut bisa ditelaah kembali, sekaligus dicarikan kemungkinan-kemungkinan
pendekatan baru yang lebih tepat. Salah satu contohnya adalah, bagaimana
paradigma positivisme di dalam psikologi kini sudah mulai digugat, dan
dicarikan alternatifnya yang lebih memadai, seperti teori aktivitas yang
berbasis pada pemikiran Marxis, psikologi budaya yang menempatkan manusia di
dalam konteks, dan teori-teori lainnya.
Sumber: Ahmadi, Abu. 2009. Psikologi Umum.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Wattimena,
Reza A.A.. 2005. Peranan Filsafat bagi Perkembangan Ilmu Psikologi.
Tersedia: http://www.rezaantonius.wordpress.com. 9 November
2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar