Minggu, 01 Januari 2017

Hubungan Filsafat Ilmu dengan Psikologi



Filsafat sebagai ilmu pengetahuan pada umumnya membantu manusia dalam mengorientasikan diri dalam dunia. Akan tetapi, ilmu-ilmu tersebut secara hakiki terbatas sifatnya. Untuk menghasilkan pengetahuan yang setepat mungkin, semua ilmu membatasi diri pada tujuan atau bidang tertentu. Dengan demikian ilmu-ilmu khusus tidak menggarap pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut manusia sebagai keseluruhan, sebagai suatu kesatuan yang dinamis. Dalam hal ini, peranan filsafat terhadap semua disiplin ilmu termasuk psikologi, hanya sebagai penggagas dan peletak dasar, dan selanjutnya ilmu-ilmu itulah yang berkembang sesuai dengan objek kajianya masing-masing.

K. Bertens memberikan lima hal yang menyangkut peranan dari filsafat bagi perkembangan ilmu-ilmu yang lain :
1. Filsafat dapat menyumbang untuk memperlancar integrasi antara ilmu-ilmu yang sangat dibutuhkan, yang disinyalir kecondongan ilmu pengetahuan untuk berkembang ke arah spesialisasi yang akhirnya menimbulkan kebuntuan. Tetapi pada filsafat tidak ada spesialisasi khusus, filsafat bertugas untuk memperhatikan keseluruhan dan tidak berhenti pada detail-detailnya.
2. Filsafat dapat membantu dalam membedakan antara ilmu pengetahuan dan scientisme. Dengan scientisme dimaksudkan pendirian yang tidak mengakui kebenaran lain daripada kebenaran yang disingkapkan oleh ilmu pengetahuan dan tidak menerima cara pengenalan lain daripada cara pengenalan yang dijalankan oleh ilmu pengetahuan, dengan demikian ilmu pengetahuan melewati batas-batasnya dan menjadi suatu filsafat.
3.  Tidak dapat disangkal bahwa hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan lebih erat dalam bidang pengetahuan manusia daripada bidang ilmu pengetahuan alam.
4. Salah satu cabang filsafat yang tumbuh subur sekarang ini adalah apa yang disebut “foundational research“ suatu penelitian kritis tentang metode-metode, pengandaian-pengandaian dan hasil ilmu pengetahuan positif.
5. Peranan filsafat dalam kerja sama interdisipliner pasti tidak dapat dibayangkan sebagai semacam “pengetahuan absolut“.
Manusia sebagai makhluk hidup juga merupakan objek dari filsafat yang antara lain membicarakan soal hakikat kodrat manusia, tujuan hidup manusia, dan sebagainya. Sekalipun psikologi pada akhirnya memisahkan diri dari filsafat, karena metode yang ditempuh sebagai salah satu sebabnya, tetapi psikologi masih tetap mempunyai hubungan dengan filsafat. Bahkan sebetulnya dapat dikemukakan bahwa ilmu-ilmu yang telah memisahkan diri dari filsafat itupun tetap masih ada hubungan dengan filsafat terutama mengenai hal-hal yang menyangkut sifat hakikat dan tujuan dari ilmu pengetahuan. Seperti telah dikemukakan diatas, psikologi mempunyai hubungan antara lain dengan biologi, sosiologi, filsafat, ilmu pengetahuan, tetapi ini tidak berarti bahwa psikologi tidak mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lain diluar ilmu-ilmu tersebut. Justru karena psikologi memilki mempelajari manusia sebagai makhluk bersegi banyak, makhluk yang bersifat kompleks maka psikologi harus bekerjasama dengan ilmu-ilmu lain. Tetapi sebaliknya setiap cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia akan kurang sempurna bila tidak mengambil pelajaran dari psikologi. Dengan demikian, akan terdapat hubungan yang timbal balik. Setelah psikologi berpisah dengan filsafat dan berdiri sendiri sebagai sebuah cabang ilmu yang baru; nampaknya psikologi, melalui berbagai penelitiannya berusaha memberikan gambaran bahwa psikologi mengikuti aturan-aturan penelitian yang berlaku dengan menggunakan cara yang sistematik dan metodologis sehingga hasil penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan secara empirik.
Kebutuhan keilmiahan psikologi tersebut nampaknya baru terpecahkan ketika Wilhelm Wundt (1832-1920) dan kawan-kawannya memulai menerapkan metode yang baru dalam bidang psikologi eksperimen. Dalam laboratorium eksperimen pertama yang didirikannya pada tahun 1879 di Universitas Leipzig (Jerman), Wundt kemudian mulai melakukan serangkaian eksperimen untuk menguji fenomena-fenomena yang dulunya merupakan bagian dari filsafat. Namun demikian, meskipun pengaruh filsafat bagi perkembangan ilmu psikologi masih dapat dirasakan dalam setiap penelitian yang dihasilkan, hal ini tentunya tidak terlepas dari bidang garapan yang lebih banyak mempunyai kesamaan dengan filsafat itu sendiri. Dengan diakuinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha menempatkan metode penelitian yang sistematis dan ilmiah, psikologi menunjukkan jati dirinya sebagai salah satu cabang ilmu yang mampu menempatkan metode-metode ilmiah sebagai bagian dari penelitiannya.
Filsafat ilmu, sebagai salah satu cabang filsafat, memberikan sumbangan besar bagi perkembangan ilmu psikologi. Filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang hendak merefleksikan konsep-konsep yang diandaikan begitu saja oleh para ilmuwan, seperti konsep metode, obyektivitas, penarikan kesimpulan, dan konsep standar kebenaran suatu pernyataan ilmiah. Hal ini penting, supaya ilmuwan dapat semakin kritis terhadap pola kegiatan ilmiahnya sendiri, dan mengembangkannya sesuai kebutuhan masyarakat. Psikolog sebagai seorang ilmuwan tentunya juga memerlukan kemampuan berpikir yang ditawarkan oleh filsafat ilmu ini. Tujuannya adalah, supaya para psikolog tetap sadar bahwa ilmu pada dasarnya tidak pernah bisa mencapai kepastian mutlak, melainkan hanya pada level probabilitas. Dengan begitu, para psikolog bisa menjadi ilmuwan yang rendah hati, yang sadar betul akan batas-batas ilmunya, dan terhindar dari sikap saintisme, yakni sikap memuja ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
Sebagai cabang ilmu, psikologi termasuk dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, khususnya ilmu-ilmu sosial. Ciri ilmu-ilmu kemanusiaan adalah memandang manusia secara keseluruhan sebagai objek dan subjek ilmu. Ciri lainnya terletak pada titik pandang dan kriterium kebenaran yang berbeda dari ilmu-ilmu alam. Ciri lain lagi muncul sebagai akibat ciri tersebut yaitu bahwa antara subjek dan objek ilmu -ilmu kemanusiaan terdapat proses saling mempengaruhi. Psikologi sebagai bagian dari ilmu kemanusiaan juga memiki ciri-ciri tersebut . Berhadapan dengan ilmu-ilmu itu salah satu tugas pokok filsafat ilmu adalah menilai hasil ilmu-ilmu pemngetahuan dilihat dari sudut pandang pengetahuan manusia seutuhnya. Ada dua bidang sehubungan dengan masalah pengetahuan yang benar, yaitu (1) ikut menilai apa yang dianggap tepat atau benar dalam ilmu-ilmu; (2) memberi penilaian terhadap sumbangan ilmu-ilmu pada perkembangan manusia guna mencapai pengetahuan yang benar.
Dengan demikian, filsafat ilmu dapat berperan dalam menilai secara kritis apa yang dianggap sebagai pengetahuan yang benar dalam ilmu psikologi. Sebagaimana telah diungkapkan, ilmu-ilmu mempunyai sumbangan yang sangat besar bagi manusia. Sumbangan-sumbangan itu mendukung peradaban manusia, karena itu patut dihargai. Namun demikian kadang terdapat kelemahan yang perlu dicermati, yakni apabila para pelaku ilmu berpendapat bahwa di luar ilmu-ilmu mereka tidak terdapat pengetahuan yang benar. Kelemahan lainnya adanya anggapan tentang kebenaran dikemukakan secara eksplisit dengan mengabaikan bidang filsafat yang dengan demikian sebenarnya sudah dimasuki oleh para pelaku ilmu yang bersangkutan.
Filsafat itu mempertanyakan jawaban, sedangkan psikologi menjawab pertanyaan (masalah).  Jadi dengan berfilsafat, psikolog mendapatkan solusi dari permasalahan kliennya, karena terus diberikan pertanyaan, kenapa, mengapa, alasannya apa, terus begitu sampai akhirnya ada kesimpulan dari pertanyaan (dari permasalahan) itu. Ketika seseorang sudah mampu mempertanyakan siapa dirinya, bagaimana dirinya terbentuk, bagaimana posisi dirinya di alam semesta ini, itu berarti orang tersebut sudah berfilsafat ke taraf yang paling tinggi. Untuk itu dibutuhkan perenungan, karena apabila didiskusikan, bisa jadi orang lain menganggap kita gila, karena itu adalah insight, dan tidak semua orang bisa mendapatkan insight.
Filsafat merupakan hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dalam penyelidikannya filsafat berangkat dari apa yang dialami manusia. Ilmu psikologi menolong filsafat dalam penelitiannya. Kesimpulan filsafat tentang kemanusiaan akan ‘pincang’ dan jauh dari kebenaran jika tidak mempertimbangkan hasil psikologi. Filsafat bisa menegaskan akar historis ilmu psikologi. Seperti kita tahu, psikologi, dan semua ilmu lainnya, merupakan pecahan dari filsafat. Di dalam filsafat, kita juga bisa menemukan refleksi-refleksi yang cukup mendalam tentang konsep jiwa dan perilaku manusia. Refleksi-refleksi semacam itu dapat ditemukan baik di dalam teks-teks kuno filsafat, maupun teks-teks filsafat modern. Dengan mempelajari ini, para psikolog akan semakin memahami akar historis dari ilmu mereka, serta pergulatan-pergulatan macam apa yang terjadi di dalamnya. Saya pernah menawarkan kuliah membaca teks-teks kuno Aristoteles dan Thomas Aquinas tentang konsep jiwa dan manusia. Menurut saya, teks-teks kuno tersebut menawarkan sudut pandang dan pemikiran baru yang berguna bagi perkembangan ilmu psikologi.
Filsafat juga memiliki cabang yang kiranya cukup penting bagi perkembangan ilmu psikologi, yakni etika. Yang dimaksud etika disini adalah ilmu tentang moral. Sementara, moral sendiri berarti segala sesuatu yang terkait dengan baik dan buruk. Di dalam praktek ilmiah, para ilmuwan membutuhkan etika sebagai panduan, sehingga penelitiannya tidak melanggar nilai-nilai moral dasar, seperti kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Sebagai praktisi, seorang psikolog membutuhkan panduan etis di dalam kerja-kerja mereka. Panduan etis ini biasanya diterjemahkan dalam bentuk kode etik profesi psikologi. Etika, atau yang banyak dikenal sebagai filsafat moral, hendak memberikan konsep berpikir yang jelas dan sistematis bagi kode etik tersebut, sehingga bisa diterima secara masuk akal. Perkembangan ilmu, termasuk psikologi, haruslah bergerak sejalan dengan perkembangan kesadaran etis para ilmuwan dan praktisi. Jika tidak, ilmu akan menjadi penjajah manusia. Sesuatu yang tentunya tidak kita inginkan.
Salah satu cabang filsafat yang kiranya sangat mempengaruhi psikologi adalah eksistensialisme. Tokoh-tokohnya adalah Soren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Viktor Frankl, Jean-Paul Sartre, dan Rollo May. Eksistensialisme sendiri adalah cabang filsafat yang merefleksikan manusia yang selalu bereksistensi di dalam hidupnya. Jadi, manusia dipandang sebagai individu yang terus menjadi, yang berproses mencari makna dan tujuan di dalam hidupnya. Eksistensialisme merefleksikan problem-problem manusia sebagai individu, seperti tentang makna, kecemasan, otentisitas, dan tujuan hidup. Dalam konteks psikologi, eksistensialisme mengental menjadi pendekatan psikologi eksistensial, atau yang banyak dikenal sebagai terapi eksistensial. Berbeda dengan behaviorisme, terapi eksistensial memandang manusia sebagai subyek yang memiliki kesadaran dan kebebasan. Jadi, terapinya pun disusun dengan berdasarkan pada pengandaian itu
Filsafat juga bisa mengangkat asumsi-asumsi yang terdapat di dalam ilmu psikologi. Selain mengangkat asumsi, filsafat juga bisa berperan sebagai fungsi kritik terhadap asumsi tersebut. Kritik disini bukan diartikan sebagai suatu kritik menghancurkan, tetapi sebagai kritik konstruktif, supaya ilmu psikologi bisa berkembang ke arah yang lebih manusiawi, dan semakin mampu memahami realitas kehidupan manusia. Asumsi itu biasanya dibagi menjadi tiga, yakni asumsi antropologis, asumsi metafisis, dan asumsi epistemologis. Filsafat dapat menjadi pisau analisis yang mampu mengangkat sekaligus menjernihkan ketiga asumsi tersebut secara sistematis dan rasional. Fungsi kritik terhadap asumsi ini penting, supaya ilmu psikologi bisa tetap kritis terhadap dirinya sendiri, dan semakin berkembang ke arah yang lebih manusiawi.
Dalam konteks perkembangan psikologi sosial, filsafat juga bisa memberikan wacana maupun sudut pandang baru dalam bentuk refleksi teori-teori sosial kontemporer. Di dalam filsafat sosial, yang merupakan salah satu cabang filsafat, para filsuf diperkaya dengan berbagai cara memandang fenomena sosial-politik, seperti kekuasaan, massa, masyarakat, negara, legitimasi, hukum, ekonomi, maupun budaya. Dengan teori-teori yang membahas semua itu, filsafat sosial bisa memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan psikologi sosial, sekaligus sebagai bentuk dialog antar ilmu yang komprehensif. Terakhir, filsafat bisa menawarkan cara berpikir yang radikal, sistematis, dan rasional terhadap ilmu psikologi, bagi para psikolog, baik praktisi maupun akademisi, sehingga ilmu psikologi bisa menjelajah ke lahan-lahan yang tadinya belum tersentuh. Dengan ilmu logika, yang merupakan salah satu cabang filsafat, para psikolog dibekali kerangka berpikir yang kiranya sangat berguna di dalam kerja-kerja mereka. Seluruh ilmu pengetahuan dibangun di atas dasar logika, dan begitu pula psikologi. Metode pendekatan serta penarikan kesimpulan seluruhnya didasarkan pada prinsip-prinsip logika. Dengan mempelajari logika secara sistematis, para psikolog bisa mulai mengembangkan ilmu psikologi secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam hal ini, logika klasik dan logika kontemporer dapat menjadi sumbangan cara berpikir yang besar bagi ilmu psikologi.
Teori psikologi tradisional masih percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai individu mutlak. Teori psikologi tradisional juga masih percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai obyek. Dengan cara berpikir yang terdapat di dalam displin filsafat, ‘kepercayaan-kepercayaan’ teori psikologi tradisional tersebut bisa ditelaah kembali, sekaligus dicarikan kemungkinan-kemungkinan pendekatan baru yang lebih tepat. Salah satu contohnya adalah, bagaimana paradigma positivisme di dalam psikologi kini sudah mulai digugat, dan dicarikan alternatifnya yang lebih memadai, seperti teori aktivitas yang berbasis pada pemikiran Marxis, psikologi budaya yang menempatkan manusia di dalam konteks, dan teori-teori lainnya.

Sumber: Ahmadi, Abu. 2009. Psikologi Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Wattimena, Reza A.A.. 2005. Peranan Filsafat bagi Perkembangan Ilmu Psikologi. Tersedia: http://www.rezaantonius.wordpress.com. 9 November 2009



Tidak ada komentar:

Posting Komentar