Minggu, 01 Januari 2017

Ajaran-ajaran di dalam filsafat Positivisme



Positivisme memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam, yang menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat dikontrol, digeneralisasi sehingga gejala ke depan bisa diramalkan. Yang mana positivisme menganggap ilmu-ilmu alam adalah satu-satunya ilmu pengetahuan yang secara universal adalah valid. Jadi, ajaran di dalam filsafat positivisme dapat dipaparkan sebagai berikut:

1. Positivisme bertolak dari pandangan bahwa filsafat positivisme hanya mendasarkan pada kenyataan (realita, fakta) dan bukti terlebih dahulu.
2.    Positivisme tidak akan bersifat metafisik, dan tidak menjelaskan tentang esensi
3.  Positivisme tidak lagi menjelaskan gejala-gejala alam sebagai ide abstrak. Gejala-gejala alam diterangkan berbasis hubungan sebab-akibat dan dari itu kemudian didapatkan dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak tergantung dari ruang dan waktu.
4. Positivisme menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat digeneralisasi sehingga kedepan dapat diramalkan (diprediksi).
5. Positivisme menyakini bahwa suatu realitas (gejala) dapat direduksi menjadi unsur-unsur yang saling terkait membentuk sistem yang dapat diamati.

Ø Konsep Positivisme serta Kelemahan dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Konsep positivisme adalah penelitian dengan metode kuantitatif yang bersifat obyektif, dan juga Hipotetik. Di dalam konsep tersebut terdapat beberapa kelemahan yaitu sebagai berikut:
a. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.
b. Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
c.  Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistik semua hal itu dinafikkan.
d. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.
e.  Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
f.   Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincah – seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistik.

Sumber: Achmadi Asmoro. 2012. Filsafat Umum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 120.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar