1.
Tingkat-Tingkat
Kebenaran
Kebenaran yang
dicari manusia dapat dicapai dengan berbagai cara.
Di antara sekian banyak
sumber, rasio dan pengalaman inderawi merupakan sumber utama sekaligus ukuran
kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Sumber lain seperti yang dikatakan oleh Ansar
Bahtiar adalah iluminasi atau intuisi. Selain itu, agama dan dogma termasuk sumber kebenaran.
Karena keaneka ragaman
sumber tersebut, maka kebenaran itu terbagi atas beberapa macam tingkatan,
tergantung dari segi mana orang berpijak untuk membaginya.
a.
Dipandang dari segi "perantara" untuk mendapatkannya, kebenaran terbagi atas:
1)Kebenaran
inderawi (empiris) yang ditemui dalam pengamatan dan pengalaman.
2)
Kebenaran
ilmiah ( rasional) yang diperoleh lewat konsepsi akal.
3)
Kebenaran
filosofis, yang dicapai melalui perenungan murni.
4)
Kebenaran
religious, yang diterima melai wahyu Ilahi.
b.
Dilihat dari segi "kekuasaan" untuk menekan orang menerimanya, kebenaran terbagi
dua:
1) Kebenaran
subyektif, yang diterima oleh subyek pengamat sendiri sesuai dengan
angggapan moral si subyek.
2) Kebenaran
obyektif, yang diakui tidak hanya oleh subyek pengamat, tetapi juga oleh
subyek-subyek lainnya, sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir.
Tiap orang
menganggap pengetahuannya benar, apakah kita mengetahui kebenarannya atau
tidak, tergantung pada pembuktian. Bukti adalah tanda kebenaran manakala
pengetahuan itu sesuai subyek yang diketahui, maka ia adalah kebenaran
obyektif.
c. Dari segi "kualitasnya( tinggi rendahnya)" kebenaran bertolak seberapa jauh keselasaran
tanggapan subyek dengan kenyataan obyek. Menurut Karl R. Popper, tinggi
rendahnya kebenaran itu adalah gagasan tentang tingkat korespandensinya yang
lebih baik atau lebih buruk terhadap kebenaran atau ide tentang keserupaan yang
lebih besar terhadap kebenaran. Misalnya pemikiran akan jawaban soal tergantung
pada pemahaman atau tanggapan subyek (peserta ujian) mengenai soal tersebut. Yang akhirnya
hasil ujian ini beraneka ragam ada yang tinggi dan ada yang
rendah. Lebih jelasnya,
kualitas kebenaran itu ada 3 yaitu:
1) Kebenaran
mutlak (absolut), yakni kebenaran yang sebenar-benarnya, kebenaran sejati,
sempurna atau hakiki.
2) Kebenaran
nisbi (relatif), yang masih beragam sifatnya, belum utuh, dan masih
mengandung kesaiahan dan yang berlaku pada masa tertentu.
3)
Kebenaran
dasar, kebenaran yang tidak dapat dipersalahkan dan masih perlu penegasan.
Pada dasarnya
filsafat dan ilmu bertujuan ingin mencapai kebenaran mutlak namun sepanjang
sejarah perkembangan manusia hanya mampu mencapai kebenaran relatif dan
spekulatif. Kenyataan dengan mengingat kita akan keterbatasan manusia. Selama
manusia hanya mengandalkan dirinya sendiri, dia tidak akan mampu mencapainya
tanpa dukungan dari luar diri manusia, yakni wahyu.
Kebenaran spekulatif dan
relatif ini, suatu saat akan ditinggalkan manusia, pada saat ditemukan teori
baru yang lebih benar .
2.
Kriteria
kebenaran
Berpikir
merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang
disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama, oleh karena itu kegiatan proses
berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun berbeda-beda. Dapat
dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai criteria
kebenaran dan criteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan
kebenaran tersebut.
Penalaran
merupakan suatu
proses penemuan kebenaran dimana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai criteria
kebenaran masing-masing. Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran
mempunyai ciri-ciri tertentu:
a. Bepikir secara luas dapat pula disebut logika. Dalam
hal ini, tiap bentuk penalaran mempunyai logikanya sendiri. Dengan kata lain,
bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis yang diartikan
sebagai suatu pola logika tertentu.
b. Analitik, penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang
menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang logis dan
ilmiah.
c. Non analitik, cara berpikir ini tidak rnenyandarkan
pada suatu pola pikir tertentu.
d. Dogmatis, ini adalah manifestasi dari keyakinan
terhadap suatu agama dan diyakini kebenarannya.
Kebenaran
pengetahuan dalam pandangan Sains jelas berbeda dengan kebenaran pengetahuan
menurut filsafat dan Agama. Masing-masing memilki kriteria tersendiri. Sains
berobyek empiris berparadigma positivistis bernntode sains dan berukuran logis
dan bukti empiris. Filsafat berobyek abstrak logis, berparadigma logis,
bermetode rasio dan berukuran logis sementara Agama berobyeak abstrak
supralogis atau metarasional, berparadigma mistis bermetode latihan mistik atau
riyadlah berukuran rasa yakin, kadang-kadang empiris.
Sumber: Mohammad Noor Syam.m1986. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikani
Pancasila. Surabaya:Usaha Nasional,
hal. 90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar