Minggu, 01 Januari 2017

Positivisme



A.  Pengertian Positivisme

Positivisme merupakan  suatu aliran  filsafat  yang menyatakan  ilmu-ilmu  alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak spekuliasi dari suatu  filosofis  atau metafisik. Dapat  pula dikatakan  positivisme  ialah  “aliran  yang bependirian bahwa  filsafat  itu hendaknya semata-mata  mengenai  dan  berpangkal pada  peristiwa-peristiwa  positif”. 
Jadi, dapat dikatakan titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya, karena positif adalah dalam artian segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif bukannya metafisika yang merupakan ilmu pengetahuan yg berhubungan dengan hal-hal yg nonfisik atau tidak kelihatan. Aliran ini menurut Atang Abdul Hakim mirip dengan aliran empirisme, namun tidak menyetujui pendapat John Locke yang masih mengakui pentingnya jiwa dalam mengolah apa yang ditangkap indra. Bagi positivisme hakikat sesuatu adalah benar-benar pengalaman indra, tidak ada campur tangan yang bersifat batiniah.
Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris. Karena aliran ini lahir sebagai penyeimbang pertentangan yang terjadi antara aliran empirisme dan aliran rasionalisme. Aliran positivisme ini lahir berusaha menyempurnakan aliran empirisme dan rasionalisme, dengan cara memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.

B.  Sejarah Kemunculan Positivisme

Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh seorang filosof berkebangsaan Inggris yang bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad ke-17. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.
Barulah pada paruh kedua abad ke-19 muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang dilahirkan di Montpellier pada tahun 1798 dari keluarga pegawai  negeri  yang  beragama  Katolik. Comte menggunakan istilah ini kemudian mematoknya secara sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat dalam karya utamanya yang berjudul Course de Philosophie Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid. Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini.
Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan. Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Pada fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa positif (tahap positivisme) manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkapi fenomena-fenomena.

Sumber: Soegiono dan Tamsil Muis. 2012. Filsafat Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 39.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar