Teori-teori kebenaran menurut filsafat, yaitu:
1.
Teori Corespondence
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita
oyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh
subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai
dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
Teori korispodensi (corespondence
theory of truth), menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu
terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan
atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat
tersebut.
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan
realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang
perlu yaitu :
a.
Statemaent (pernyataan)
b.
Persesuaian (agreemant)
c.
Situasi (situation)
d.
Kenyataan (realitas)
e.
Putusan (judgements)
Kebenaran adalah fidelity to
objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut
oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan lebih
lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand
Russel pada abad moderen.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi
ini. Teori kebenaran menurut corespondensi
ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak
ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran
itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai
dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya. Artinya anak harus
mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu.
Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam
kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak
sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi
tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku
harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek,
nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
2.
Teori Consistency
Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil
test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari
satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan
penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
Menurut teori consistency untuk
menetapkan suatu kebenarna bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan
realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya
dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena
itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali
berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain. Teori ini dipandang
sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam
penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan.
Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua
teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman
dankelanjutan yang teliti dan teori korespondensi. Teori korespondensi
merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan
usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.
Teori koherensi (the coherence theory
of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada
perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan sebelumnya yang
telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika
pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan
lain yang telah diterima kebenarannya.
Rumusan kebenaran adalah turth is a
sistematis coherence dan trut is
consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C. Logika matematik yang
deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa
kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini
digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh
Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah
dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan
dengan data terbaru yagn benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori
itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
3.
Teori Pragmatisme
Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik
sebagai metode project atau medote
problem olving dai dalam pengajaran.
Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang
ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di
dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan
utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk
ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan
lingkungan. Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat
segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran,
jika tidak, teori ini salah. Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem
secara tepat barulah teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan
masalah itulah teori yang benar (kebenaran).
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu
pernyataan, teori atau dalil itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat
bagi kehidupan manusia. Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan
kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility) dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena
itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat
dan akibatnya.
Ø Akibat/
hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
a. Sesuai
dengan keinginan dan tujuan
b. Sesuai
dengan teruji dengan suatu eksperimen
c. Ikut
membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika
tokohnya adalah Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan
John Dewey (1852-1859). Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu
benar terletak pada konsikuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey
konsikasi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan
ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti
obyek secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak langsung melalui
kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti segala
sesuai melalui praktek di dalam program solving.
4.
Kebenaran Religius
Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan
antara kesan dengan realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan
maka itu benar. Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan
individu. Kebenaran bersifat objective, universal, berlaku bagi seluruh umat
manusia, karena kebenaran ini secara antalogis
dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang
disampaikan melalui wahyu.
Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun
bersifat superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenaran
allah ini adalah kebenaran tertinggi, dimana semua kebanaran (kebenaran
inderan, kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di
bawah kebanaran agama sebagai teori kebenaran
Ke tiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi,fakta, realitas
dan kegunaan sebagai landasannya. Dalam teori kebanaran agama digunakan wahyu
yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk pencari kebeanran, manusia dan
mencari dan menemukan kebenaran melalui agama. Dengan demikian, sesuatu
dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama atau wahyu sebagai
penentu kebenaran mutlak.agama dengan kitab suci dan haditsnya dapat memberikan
jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk kebenaran.
Sumber: Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar