Filsafat
sering disebut sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan. Sejarah ilmu
pengetahuan memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan berasal dan berkembang dari
filsafat. Sebelum ilmu pengetahuan lahir, filsafat telah memberikan landasannya
yang kuat. Para filsuf Yunani Klasik seperti Demokritos sampai tiga serangkai
guru dan murid yang sangat terkenal yakni Socrates, Plato, dan Aristoteles
telah berbicara tentang atom, naluri, emosi, bilangan dan ilmu hitung
(matematika), demokrasi, sistem pemerintahan dan kemasyarakatan, yang kemudian
dikembangkan oleh fisika, biologi, kedokteran, matematika, biologi, ilmu
budaya, psikologi, sosiologi, dan ilmu politik.
Lalu,
setelah ilmu-ilmu pengetahuan melepaskan diri dari filsafat dan dengan tegas
menyatakan kemandiriannya, bagaimana bentuk hubungan filsafat dengan ilmu
pengetahuan? Bagaimana dengan kedudukan dan kegunaan filsafat selanjutnya?
Kedudukan filsafat dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan dapat digambarkan
sebagai berikut.
1. Tujuan
filsafat untuk memahami hakikat dari sesuatu obyek yang menjadi kajiannya tetap
dipertahankan, tetapi informasi atau pengetahuan yang menunjangnya harus bisa
dipertanggungjawabkan bukan hanya secara rasional (logis), tetapi juga
secara faktual (dialami langsung dalam kehidupan kita). Oleh sebab itu,
filsafat (harus) mengadakan kontak dengan ilmu pengetahuan, mengambil banyak
informasi atau teori-teori terbaru darinya, dan mengembangkannya secara
filosofis. Inilah yang telah dilakukan misalnya oleh Bergson, Cassirer,
Husserl, Foucault, dan para filsul modern serta kontemporer lainnya. Pemikiran
filsafati yang dikembangkan oleh mereka sangat kaya dengan ilustrasi-ilustrasi
yang berasal dari temuan-temuan ilmiah yang berkembang pada zamannya.
2. Tujuan
filsafat untuk mempersoalkan nilai dari suatu obyek tetap dipertahankan. Hal
ini pun dilakukan filsafat terhadap ilmu pengetahuan. Akibatnya, temuan-temuan
ilmiah yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan (dan juga
ketuhanan), diberi kritik atau dikoreksi. Ingat misalnya, masalah kloning dan
euthanasia. Filsafat memberikan evaluasi dan kritik terhadap dampak moral dan
kemanusiaan kedua masalah tersebut bagi hidup manusia.
3. Filsafat
pun melakukan kajian dan kritik terhadap persoalan-persoalan metodologi ilmu
pengetahuan. Ini misalnya dilakukan dalam filsafat ilmu pengetahuan. Kritik
filsafat atas cara kerja dan metodologi ilmu pengetahuan pada prinsipnya
menguntungkan, karena dapat menjernihkan dan menyempurnakan ilmu pengetahuan.
Kajian positivisme Auguste Comte (1798-1857), neo-positivisme (positivisme
logis), falsifikasionisme Karl Popper (1902-1994), dan bahkan fenomenologi
Edmund Husserl (1859-1938) tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga memperkaya
khazanah ilmu, khususnya ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan (humaniora).
Kritik-kritik mereka terhadap ilmu-ilmu sosial dan humaniora melahirkan
paradigma-paradigma baru dalam ilmu sosial yakni yang bersifat humanistik dan
kritis, di samping positivistik.
Filsafat
mengajukan pertanyaan yang intinya dimaksudkan untuk mengetahui “apa” (essensi
atau sifat dasar) dari suatu masalah, kejadian atau obyek, sedangkan ilmu
pengetahuan menjawab pertanyaan “bagaimana” (dinamika atau proses) dari suatu
masalah atau obyek itu berjalan. Ilmu pengetahuan mengajukan pertanyaan
mengenai kuantitas, baik dari jumlah obyek (frekuensi) maupun signifikasi
pengaruh atau hubungan (taraf signifikansi). Meski sama-sama mengajukan
pertanyaan mengenai “mengapa”, kedua disiplin itu berbeda sama sekali
kedalamannya. Jawaban yang dituntut dalam ilmu pengetahuan untuk pertanyaan
“mengapa” terbatas pada sejumlah variabel yang terukur, sehingga dapat dijawab
melalui metode-metode empiris seperti eksperimen.
Sedangkan,
pertanyaan filsafat berkaitan dengan sebab-musabab yang terdalam (ultimate causation), sehingga jawabannya
tidak dapat ditemukan melalui penggunaan metode-metode empiris. Misalnya,
mengapa ada kehidupan jika pada akhirnya mendatangkan penderitaan? Mengapa yang
ada itu ada? Mengapa saya hidup di dunia ini saat ini, bukan di kehidupan di
abad-abad yang akan datang? Mengapa manusia memerlukan moralitas?
Ruang
lingkup masalah kedua disiplin ilmu itu pun berbeda. Filsafat tidak membatasi
diri pada obyek-obyek atau masalah-masalah yang dapat dialami atau dibuktikan
secara empiris, tetapi pada obyek-obyek atau masalah-masalah sejauh dapat
dipikirkan secara rasional. Maka, ruang lingkup masalah filsafat bisa sangat
luas, misalnya mengenai keberadaan Tuhan, jiwa, moralitas, dan lain-lain. Ini
berbeda dengan ilmu pengetahuan. Obyek atau masalah ilmu pengetahuan adalah
gejala-gejala yang dapat diobservasi dan dialami secara empiris, bahkan terukur
secara kuantitatif.
Fokus
kajian filsafat bukan hanya pada fakta sebagaimana adanya tapi juga nilai,
yaitu sesuatu yang seharusnya ada atau melekat pada fakta tersebut. Oleh sebab
itu, banyak filsuf yang merasa tidak puas hanya dengan menggambarkan suatu
obyek, keadaan, atau masalah apa adanya, melainkan secara kritis menjelaskan
bagaimana seharusnya atau idealnya obyek, keadaan atau masalah tersebut. Atas
dasar itu dapat dipahami kenapa sebagian filsuf bukan hanya memiliki
keberpihakan pada nilai kebenaran, tetapi juga pada nilai kemanusiaan
(humanisme); pada kelompok masyarakat tertindas (Marxisme dan teori kritis);
dan lain-lain. Bagaimana dengan ilmu pengetahuan? Ilmu pengetahuan kurang
memperma-salahkan nilai, karena fokusnya pada deskripsi dan penjelasan serta
prediksi fakta atau gejala.
Karena
berbeda dalam pertanyaannya, ruang lingkup dan fokus kajian-kajiannya, maka
metode kedua disiplin itu pun masing-masing memiliki perbedaan. Dalam filsafat
tidak ada penelitian eksperimental atau studi korelasional, misalnya. Filsafat
tidak mengukur dan membuktikan hubungan antarvariabel. Meski ada beragam metode
dalam filsafat, tetapi ciri utamanya adalah rasional dan kritis. Sebaliknya,
ilmu pengetahuan menggunakan metode ilmiah, yang bukan hanya rasional, tetapi
juga empiris, mengukur fakta-fakta dan saling hubungan antara fakta atau
variabel yang satu dengan fakta atau variabel yang lain.
Hasil
atau produk filsafat dan ilmu pengetahuan berbeda karena metode dan area
masalahnya pun berbeda. Hasil pemikiran filsafat berupa pemikiran-pemikiran
filsafat yang isinya atau ruang lingkupnya berupa pemikiran-pemikiran filsafat
yang isinya atau ruang lingkupnya relatif luas, kritis, intensif atau dalam.
Sebaliknya, hasil ilmu pengetahuan adalah berupa teori-teori ilmu pengetahuan
yang isinya relatif lebih detil dibandingkan pemikiran filsafat, tetapi relatif
terbatas pada fakta-fakta empiris, atau gejala-gejala yang dianggap termasuk ke
dalam populasi obyek yang diteliti oleh ilmu pengetahuan.
Sumber: Anshari, Endang Saifuddin. 1979. Ilmu,
Filsafat, dan Agama. Jakarta: Bulan Bintang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar