Sabtu, 31 Desember 2016

Hubungan filsafat dengan sains

       Filsafat sering disebut sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan. Sejarah ilmu pengetahuan memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan berasal dan berkembang dari filsafat. Sebelum ilmu pengetahuan lahir, filsafat telah memberikan landasannya yang kuat. Para filsuf Yunani Klasik seperti Demokritos sampai tiga serangkai guru dan murid yang sangat terkenal yakni Socrates, Plato, dan Aristoteles telah berbicara tentang atom, naluri, emosi, bilangan dan ilmu hitung (matematika), demokrasi, sistem pemerintahan dan kemasyarakatan, yang kemudian dikembangkan oleh fisika, biologi, kedokteran, matematika, biologi, ilmu budaya, psikologi, sosiologi, dan ilmu politik.

       Lalu, setelah ilmu-ilmu pengetahuan melepaskan diri dari filsafat dan dengan tegas menyatakan kemandiriannya, bagaimana bentuk hubungan filsafat dengan ilmu pengetahuan? Bagaimana dengan kedudukan dan kegunaan filsafat selanjutnya? Kedudukan filsafat dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan dapat digambarkan sebagai berikut.
1. Tujuan filsafat untuk memahami hakikat dari sesuatu obyek yang menjadi kajiannya tetap dipertahankan, tetapi informasi atau pengetahuan yang menunjangnya harus bisa dipertanggungjawabkan  bukan hanya secara rasional (logis), tetapi juga secara faktual (dialami langsung dalam kehidupan kita). Oleh sebab itu, filsafat (harus) mengadakan kontak dengan ilmu pengetahuan, mengambil banyak informasi atau teori-teori terbaru darinya, dan mengembangkannya secara filosofis. Inilah yang telah dilakukan misalnya oleh Bergson, Cassirer, Husserl, Foucault, dan para filsul modern serta kontemporer lainnya. Pemikiran filsafati yang dikembangkan oleh mereka sangat kaya dengan ilustrasi-ilustrasi yang berasal dari temuan-temuan ilmiah yang berkembang pada zamannya.
2.  Tujuan filsafat untuk mempersoalkan nilai dari suatu obyek tetap dipertahankan. Hal ini pun dilakukan filsafat terhadap ilmu pengetahuan. Akibatnya, temuan-temuan ilmiah yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan (dan juga ketuhanan), diberi kritik atau dikoreksi. Ingat misalnya, masalah kloning dan euthanasia. Filsafat memberikan evaluasi dan kritik terhadap dampak moral dan kemanusiaan  kedua masalah tersebut bagi hidup manusia.
3. Filsafat pun melakukan kajian dan kritik terhadap persoalan-persoalan metodologi ilmu pengetahuan. Ini misalnya dilakukan dalam filsafat ilmu pengetahuan. Kritik filsafat atas cara kerja dan metodologi ilmu pengetahuan pada prinsipnya menguntungkan, karena dapat menjernihkan dan menyempurnakan ilmu pengetahuan. Kajian positivisme Auguste Comte (1798-1857), neo-positivisme (positivisme logis), falsifikasionisme Karl Popper (1902-1994), dan bahkan fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938) tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga memperkaya khazanah ilmu, khususnya ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan (humaniora). Kritik-kritik mereka terhadap ilmu-ilmu sosial dan humaniora melahirkan paradigma-paradigma baru dalam ilmu sosial yakni yang bersifat humanistik dan kritis, di samping positivistik.
Filsafat mengajukan pertanyaan yang intinya dimaksudkan untuk mengetahui “apa” (essensi atau sifat dasar) dari suatu masalah, kejadian atau obyek, sedangkan ilmu pengetahuan menjawab pertanyaan “bagaimana” (dinamika atau proses) dari suatu masalah atau obyek itu berjalan. Ilmu pengetahuan mengajukan pertanyaan mengenai kuantitas, baik dari jumlah obyek (frekuensi) maupun signifikasi pengaruh atau hubungan (taraf signifikansi). Meski sama-sama mengajukan pertanyaan mengenai “mengapa”, kedua disiplin itu berbeda sama sekali kedalamannya. Jawaban yang dituntut dalam ilmu pengetahuan untuk pertanyaan “mengapa” terbatas pada sejumlah variabel yang terukur, sehingga dapat dijawab melalui metode-metode empiris seperti eksperimen.
Sedangkan, pertanyaan filsafat berkaitan dengan sebab-musabab yang terdalam (ultimate causation), sehingga jawabannya tidak dapat ditemukan melalui penggunaan metode-metode empiris. Misalnya, mengapa ada kehidupan jika pada akhirnya mendatangkan penderitaan? Mengapa yang ada itu ada? Mengapa saya hidup di dunia ini saat ini, bukan di kehidupan di abad-abad yang akan datang? Mengapa manusia memerlukan moralitas?
Ruang lingkup masalah kedua disiplin ilmu itu pun berbeda. Filsafat tidak membatasi diri pada obyek-obyek atau masalah-masalah yang dapat dialami atau dibuktikan secara empiris, tetapi pada obyek-obyek atau masalah-masalah sejauh dapat dipikirkan secara rasional. Maka, ruang lingkup masalah filsafat bisa sangat luas, misalnya mengenai keberadaan Tuhan, jiwa, moralitas, dan lain-lain. Ini berbeda dengan ilmu pengetahuan. Obyek atau masalah ilmu pengetahuan adalah gejala-gejala yang dapat diobservasi dan dialami secara empiris, bahkan terukur secara kuantitatif.
Fokus kajian filsafat bukan hanya pada fakta sebagaimana adanya tapi juga nilai, yaitu sesuatu yang seharusnya ada atau melekat pada fakta tersebut. Oleh sebab itu, banyak filsuf yang merasa tidak puas hanya dengan menggambarkan suatu obyek, keadaan, atau masalah apa adanya, melainkan secara kritis menjelaskan bagaimana seharusnya atau idealnya obyek, keadaan atau masalah tersebut. Atas dasar itu dapat dipahami kenapa sebagian filsuf bukan hanya memiliki keberpihakan pada nilai kebenaran, tetapi juga pada nilai kemanusiaan (humanisme); pada kelompok masyarakat tertindas (Marxisme dan teori kritis); dan lain-lain. Bagaimana dengan ilmu pengetahuan? Ilmu pengetahuan kurang memperma-salahkan nilai, karena fokusnya pada deskripsi dan penjelasan serta prediksi fakta atau gejala.
Karena berbeda dalam pertanyaannya, ruang lingkup dan fokus kajian-kajiannya, maka metode kedua disiplin itu pun masing-masing memiliki perbedaan. Dalam filsafat tidak ada penelitian eksperimental atau studi korelasional, misalnya. Filsafat tidak mengukur dan membuktikan hubungan antarvariabel. Meski ada beragam metode dalam filsafat, tetapi ciri utamanya adalah rasional dan kritis. Sebaliknya, ilmu pengetahuan menggunakan metode ilmiah, yang bukan hanya rasional, tetapi juga empiris, mengukur fakta-fakta dan saling hubungan antara fakta atau variabel yang satu dengan fakta atau variabel yang lain.
Hasil atau produk filsafat dan ilmu pengetahuan berbeda karena metode dan area masalahnya pun berbeda. Hasil pemikiran filsafat berupa pemikiran-pemikiran filsafat yang isinya atau ruang lingkupnya berupa pemikiran-pemikiran filsafat yang isinya atau ruang lingkupnya relatif luas, kritis, intensif atau dalam. Sebaliknya, hasil ilmu pengetahuan adalah berupa teori-teori ilmu pengetahuan yang isinya relatif lebih detil dibandingkan pemikiran filsafat, tetapi relatif terbatas pada fakta-fakta empiris, atau gejala-gejala yang dianggap termasuk ke dalam populasi obyek yang diteliti oleh ilmu pengetahuan.

Sumber: Anshari, Endang Saifuddin. 1979. Ilmu, Filsafat, dan Agama. Jakarta: Bulan Bintang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar