Jumat, 30 Desember 2016

Estetika dan Seni



Pembicaraan estetika sebenarnya sangat luas, bilai kita urai berdasarkan konteks sejarahnya, maka estetika dapat dibagi menjadi beberapa, diantaranya adalah; estetika klasik (Graeco-Roman), Estetika abad pertengahan, estetika renaisans, estetika pencerahan, estetika romantic, estetika positivisme dan naturalisme, estetika abad ke- 20, estetika kontemporer, sampai pada estetika postmodern.

Untuk menguraikan secara lengkap estetika berdasarkan uraian konteks sejarah tentunya tidak cukup hanya satu atau dua pertemuan tapi butuh waktu yang lebih banyak.Oleh sebab itu materi estetika hanya diuraikan secara garis besarnya saja. Estetika dengan filsafat seni ibarat dua mata koin yang tidak dapat dipisahkan, bahkan beberapa pendapat menganggap bahwa estetika itu adalah filsafat seni sebab berbicara tentang ilmu dan teori keindahan, sementara keindahan yang dibicarakan adalah keindahan seni. Menurut Plato (428-348 SM). Sumber rasa keindahan adalah cinta kasih, karena ada cinta, maka manusia selalu ingin kembali menikmati apa yang dicintainya itu. Rasa cinta pada manusia ini bukan hanya tertuju pada keindahan, tetapi juga pada kebaikan (moral) dan kebenaran (ilmu pengetahuan).
Timbulnya rasa cinta pada keindahan adalah akibat pendidikan. Proses tertanamnya rasa cinta pada keindahan dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Pada awalnya orang dididik untuk mencintai keindahan nyata yang tunggal, misalnya keindahan tubuh seorang manusia.
2. Kemudian, dia dididik untuk mencintai keindahan tubuh yang lain, sehingga tertanam hakikat keindahan tubuh manusia.
3. Keindahan tubuh yang bersifat rohaniah itu lebih luhur daripada keindahan tubuh yang sifatnya jasmaniah.
4. Keindahan rohaniah dapat menuntun manusia mencintai segala yang bersifat rohani pula, misalnya ilmu pengetahuan.
5. Akhirnya, manusia harus dapat menangkap ide keindahan itu sendiri tanpa kaitan dengan yang bersifat jasmani.
Dalam memberi karakteristik tentang keindahan, Aristoteles hampir sama dengan Plato. Keduanya menekankan adanya kesatuan dan harmoni. Adapun ciri-ciri lengkap keindahan, baik pada alam ,aupun pada karya seni, menurut Aristoteles adalah: 
a. Kesatuan atau keutuhan yang dapat menggambarkan kesempurnaan bentuk, tak ada yang berlebih atau berkurang. Sesuatu yang pas dank has adanya.
b. Harmoni atau keseimbangan antar-unsur yang proporsional, sesuai dengan ukurannya yang khas.
c. Kejernihan, segalanya memberi kesan kejelasan, terang, jernih, murni, tanpa ada keraguan
            Ø Permasalahan Estetika di Indonesia
Permasalahan estetika di Indonesia agak rumit untuk di jelaskan secara focus berada pada fase apa dan gaya estetika apa yang mendominasi. Hal tersebut disebabkan oleh karena keragaman etnik, multikultur, dan campur aduknya berbagai faham, aliran, dan budaya yang terdapat di Indonesia. Budaya primitif yang masih bertahan hingga saat ini diberbagai pedalaman irian, berbaurnya antara tradisi, modernitas, dan postmodern diberbagai suku dan budaya di nusantara semakin mempersulit pemahaman terhadap estetika dominan yang dimiliki nusantara.
Hal ini disebabkan oleh karena disatu sisi cara berfikir kita adalah cara berfikir manusia modern, sementara di barat cara berfikir seperti ini telah punya sejarah panjang, sementara kita hanya menimba hasil pemikiran mereka untuk menghadapi tantangan hidup kita. Perkembangan pemikiran barat kita ikuti secara cermat dan kita seolah tak mau ketinggalan dalam memperoleh informasi paling aktual dari pemikiran barat, terutama dalam hal ini bidang seni.
 Sementara disisi lain, sebagian besar masyarakat kita masih hidup dengan cara berfikir pramodern. Cara berfikir manusia Indonesia, khususnya yang kurang terpelajar, masih mengikuti cara berfikir nenek moyangnya. Apalagi dalam bidang seni, masih banyak produk seni yang kita warisi dari nenek moyang yang cara berfikirnya pramodern dan masih bertahan hingga saat ini, walaupun selalu terpinggirkan oleh sistem. Produk seni masa lampau yang masih hidup dalam masa kini adalah produk seni masyarakat nenek moyang kita yang budayanya masih dalam tahap mitis. Menurut Jakob Sumardjo, Logika budaya mitis berbeda dengan logika budaya ontologis. Logika mitos dan dongen rakyat berbeda dengan logika novel modern. Dalam logika mitis, adalah wajar apabila keringat dewa yang menetes dari tubuhnya dapat menjelma menjadi seorang dewa, didunia sana, segalanya serba mungkin, sedangkan dunia manusia bersifat fana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar