Pembicaraan estetika sebenarnya sangat
luas, bilai kita urai berdasarkan konteks sejarahnya, maka estetika dapat
dibagi menjadi beberapa, diantaranya adalah; estetika klasik (Graeco-Roman), Estetika abad
pertengahan, estetika renaisans, estetika
pencerahan, estetika romantic,
estetika positivisme
dan naturalisme, estetika abad ke- 20, estetika kontemporer, sampai pada
estetika postmodern.
Untuk menguraikan secara lengkap
estetika berdasarkan uraian konteks sejarah tentunya tidak cukup hanya satu
atau dua pertemuan tapi butuh waktu yang lebih banyak.Oleh sebab itu materi
estetika hanya diuraikan secara garis besarnya saja. Estetika dengan
filsafat seni ibarat dua mata koin yang tidak dapat dipisahkan, bahkan beberapa
pendapat menganggap bahwa estetika itu adalah filsafat seni sebab berbicara
tentang ilmu dan teori keindahan, sementara keindahan yang dibicarakan adalah
keindahan seni. Menurut Plato
(428-348 SM). Sumber
rasa keindahan adalah cinta kasih, karena ada cinta, maka manusia selalu ingin
kembali menikmati apa yang dicintainya itu. Rasa cinta pada manusia ini bukan
hanya tertuju pada keindahan, tetapi juga pada kebaikan (moral) dan kebenaran
(ilmu pengetahuan).
Timbulnya rasa cinta pada keindahan
adalah akibat pendidikan. Proses tertanamnya rasa cinta pada keindahan dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Pada awalnya orang
dididik untuk mencintai keindahan nyata yang tunggal, misalnya keindahan tubuh
seorang manusia.
2. Kemudian, dia dididik
untuk mencintai keindahan tubuh yang lain, sehingga tertanam hakikat keindahan
tubuh manusia.
3. Keindahan tubuh yang
bersifat rohaniah itu lebih luhur daripada keindahan tubuh yang sifatnya
jasmaniah.
4. Keindahan rohaniah
dapat menuntun manusia mencintai segala yang bersifat rohani pula, misalnya
ilmu pengetahuan.
5. Akhirnya, manusia harus
dapat menangkap ide keindahan itu sendiri tanpa kaitan dengan yang bersifat
jasmani.
Dalam memberi karakteristik tentang
keindahan, Aristoteles hampir sama dengan Plato. Keduanya menekankan adanya
kesatuan dan harmoni. Adapun ciri-ciri lengkap keindahan, baik pada alam ,aupun
pada karya seni, menurut Aristoteles adalah:
a. Kesatuan atau keutuhan
yang dapat menggambarkan kesempurnaan bentuk, tak ada yang berlebih atau
berkurang. Sesuatu yang pas dank has adanya.
b. Harmoni atau keseimbangan
antar-unsur yang proporsional, sesuai dengan ukurannya yang khas.
c. Kejernihan, segalanya
memberi kesan kejelasan, terang, jernih, murni, tanpa ada keraguan
Ø Permasalahan
Estetika di Indonesia
Permasalahan estetika di Indonesia agak
rumit untuk di jelaskan secara focus berada pada fase apa dan gaya estetika apa
yang mendominasi. Hal tersebut disebabkan oleh karena keragaman etnik,
multikultur, dan campur aduknya berbagai faham, aliran, dan budaya yang
terdapat di Indonesia. Budaya primitif yang masih bertahan hingga saat ini
diberbagai pedalaman irian, berbaurnya antara tradisi, modernitas, dan
postmodern diberbagai suku dan budaya di nusantara semakin mempersulit
pemahaman terhadap estetika dominan yang dimiliki nusantara.
Hal ini disebabkan oleh karena disatu
sisi cara berfikir kita adalah cara berfikir manusia modern, sementara di barat
cara berfikir seperti ini telah punya sejarah panjang, sementara kita hanya
menimba hasil pemikiran mereka untuk menghadapi tantangan hidup kita.
Perkembangan pemikiran barat kita ikuti secara cermat dan kita seolah tak mau
ketinggalan dalam memperoleh informasi paling aktual dari pemikiran barat, terutama
dalam hal ini bidang seni.
Sementara disisi lain, sebagian besar
masyarakat kita masih hidup dengan cara berfikir pramodern. Cara berfikir
manusia Indonesia, khususnya yang kurang terpelajar, masih mengikuti cara
berfikir nenek moyangnya. Apalagi dalam bidang seni, masih banyak produk seni
yang kita warisi dari nenek moyang yang cara berfikirnya pramodern dan masih
bertahan hingga saat ini, walaupun selalu terpinggirkan oleh sistem. Produk seni masa
lampau yang masih hidup dalam masa kini adalah produk seni masyarakat nenek
moyang kita yang budayanya masih dalam tahap mitis. Menurut Jakob Sumardjo,
Logika budaya mitis berbeda dengan logika budaya ontologis. Logika mitos dan
dongen rakyat berbeda dengan logika novel modern. Dalam logika mitis, adalah
wajar apabila keringat dewa yang menetes dari tubuhnya dapat menjelma menjadi
seorang dewa, didunia sana, segalanya serba mungkin, sedangkan dunia manusia
bersifat fana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar