Kebanyakan pakar dalam mengupas hubungan
ilmu bahasa dan filsafat selalu menempatkan filsafat kedalam posisi yang
prestisius. Hal ini tidaklah aneh mengingat filsafat adalah roh dari semua ilmu
termasuk ilmu bahasa. Kajian bahasa pertama kalipun justru dilakukan oleh
filosof dan bukan oleh ahli bahasa. Pada jaman dulu, para filosof memecahkan
berbagai macam problem filsafat melalui pendekatan analisis bahasa. Sebagai
contoh problem filsafat yang menyangkut pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan
mendasar seperti yang ada, reality, eksistensi, sensi substansi, materi, bentuk
kausalitas, makna pernyataan dan verifikasinya (Katsoff, 1989:48-63) dan
pertanyaan-peranyaan fundamental lainnya dapat dijelaskan dengan menggunakan
analisis data bahasa. Tradisi ini oleh para ahli sejarah filsafat disebut
sebagai Filsafat Analitik, yang berkembang di Eropa terutama di Inggris abad
XX.
Semua ahli filsafat sepakat bahwa ada
hubungan yang sangat erat antara filsafat dan bahasa terutama yang berhubungan
dengan peran pokok filsafat sebagai analisator konsep-konsep. Konsep-konsep
yang dianalisa filsafat memiliki raga kuat karena berbentuk istilah-istilah
bahasa dan karenanya, tidak bisa tidak, filosof harus memahami makna “apa itu bahasa”
yang selalu digunakan dalam memahami konsep-konsep tersebut.
Sejak zaman Yunani kuno, sudah muncul
paham Phusis yang menyatakan bahwa bahasa bersifat alamiah (fisei atau fisis),
yaitu bahasa mempunyai hubungan dengan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip
abadi dan tidak dapat diganti di luar manusia itu sendiri dan karena itu tidak
dapat ditolak. Dengan demikian dalam bahasa ada keterkaitan antara kata dan
alam. Tokoh paham natural ini diantaranya Cratylus dalam Dialog Pluto
(Solikhan, 2008:55)
Paham naturalis ini mendapat penentangan
dari paham Thesis yang berpendapat bahwa bahasa bersifat konvensi (nomos).
Bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan berupa tacit agreement
(persetujuan diam). Bahasa bukan pemberian Tuhan, melainkan bersifat konvensional.
Pendapat ini diwakili oleh Hermoganes dalam Dialog Pluto (Kaelan, 1998:29).
Dikotomi spekulatif tentang hakikat
bahasa fusie dan nomos merupakan pusat perhatian filosof pada saat itu.
Demikian juga dikotomi analogi dan anomali merupakan diskursus filosofis yang
mendasar mengingat bahasa merupakan sarana utama dalam filsafat terutama dalam
logika. Golongan analogi yang dianut kelompok Plato dan Aristoteles mengatakan
bahwa alam ini memiliki keteraturan demikian juga manusia yang terefleksi dalam
bahasa. Oleh karena itu bahasa memiliki keteraturan dan disusun secara teratur.
Sebaliknya, kaum Anomalis berpendapat bahwa bahasa tidak memiliki keteraturan.
Mereka mununjukkan bukti kenyataan sehari-hari mengapa ada kata yang bersifat
sinonim, dan homonim, mengapa ada unsur kata yang bersifat netral, dan jika
bahasa itu bersifat universal seharusnya kekacauan itu dapat diperbaiki. Dalam
pengertian inilah bahasa pada hakekatnya bersifat alamiah (Parera dalam
Solikhan, 2008: 55).
Perbedaan-perbedaan perspektif tentang bahasa dan segala hal yang berkaitan
namun tetap berada dalam payung bahasa, yang dilakukan oleh para filosof
ternyata memiliki kontribusi yang demikian besar terhadap kemajuan dari ilmu
bahasa. Perbedaan-perbedaan ini memunculkan adanya diskusi, dialog, bahkan
debat. Diskusi, dialog, dan dan debat
inilah yang menyuntikkan darah segar pada para filosof untuk selalu
melahirkan inovasi-inovasi dan
revisi-revisi terhadap teori lama yang berkenaan dengan bahasa. Dimulai dengan
dimunculkannya filsafat bahasa oleh para filosof yaitu pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat bahasa, sebab, asal dan hukumnya
(yang kemudian menjadi embrio dari lahirnya ilmu bahasa atau linguistik)
(Sallyanti, 2004:1), maka lahirlah ilmu bahasa atau linguistik yang kita kenal
dewasa ini.
Sumber: Poedjosoedarmo, Soepomo. 2003. Filsafat
Bahasa. Surakarta: Muhammadiyah
University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar